Part 11

12K 1.1K 115
                                    

"Ayah, kenapa harus aku?"

Mark menatap pusara di hadapannya dengan sendu. Ia mengusap pelan nisan itu dengan perasaan yang berkecamuk. Rasa lelah dan juga putus asa terus menghantuinya tanpa tahu bahwa dirinya ingin beristirahat barang sejenak, Mark ingin menjauh dari segala masalah rumit mengenai rumah tangganya yang berantakan.

Jika bukan karena wasiat dari sang Ayah dan paksaan dari Haechan, Mark tak akan duduk bersimpuh disini dengan menyedihkan. Ia mungkin akan hidup bahagia, tanpa harus tertekan dengan semua belenggu yang menyiksanya.

"Tidak ada yang bahagia. Aku dan Haechan sama-sama tersakiti. Ayah pernah mengatakan bahwa aku akan bahagia," Mark terkekeh miris kala mengingat ucapan sang Ayah sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa suatu hari nanti, Mark pasti akan menemukan kebahagiaannya bersama Haechan. Namun, sepertinya sang Ayah salah. Sampai sekarang, Mark tak menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari, "tapi, aku menderita."

Mark ingin memaki pada dunia, mengapa takdir begitu kejam mempermainkan kehidupan mereka.

"Ayah tahu? Aku dan Haechan akan bercerai. Tapi, sekali lagi takdir sangat senang bermain-main dengan kehidupan kami. Haechan lumpuh, Ayah. Dia ... tidak mungkin aku tinggalkan dalam keadaan seperti itu." Mark tumpahkan semua keluh kesahnya pada pusara di depannya.

Mark menunduk, sembari menutup wajahnya. Sesaat kemudian, bahu yang terlihat kokoh itu bergetar. Isakan pelan lolos dari belah bibir laki-laki itu kala rasa sesak yang coba ia tahan terasa amat sangat menyiksanya. Di saat seperti ini, Mark sangat membutuhkan sang Ayah. Sebab, hanya pria paruh baya itu lah yang selalu mengerti dirinya. Setelah kepergian sang Ayah, Mark lebih sering menyimpan keluh kesahnya seorang diri.

Dan mengingat pembicaraanya beberapa waktu lalu dengan Haechan, Mark merasa mereka memang tidak cocok. Haechan tidak akan pernah menjadi seperti apa yang Mark inginkan, dan begitu pun sebaliknya.

Pada saat Haechan selesai mengatakan kata-kata yang sedikit menohok hatinya, Mark memilih meninggalkan rumah dan segera pergi menuju tempat peristirahatan terakhir sang Ayah. Hanya di tempat ini, Mark bisa melepas sejenak topeng arogan dan dingin yang selalu ia pakai. Hanya di tempat ini, Mark bisa mengadu selayaknya anak kecil yang merasa kesakitan kala dunia terasa tak berpihak padanya. Hanya di tempat ini, Mark tak perlu berpura-pura terlihat kuat.

"Aku sudah mencoba untuk mencintai Haechan. Tapi, aku memang tidak bisa. Ayah, tolong katakan, keputusan aku untuk bercerai dengan Haechan sudah tepat bukan?"

Tentu akan sangat bodoh jika berpikir bahwa akan ada yang menjawab pertanyaannya. Namun, setidaknya Mark merasa sedikit lega setelah mengeluarkan segala keluh kesahnya.

Sungguh, Mark tak bisa memaksakan hatinya untuk mencintai Haechan. Ia benar-benar tak bisa. Mark pernah mencoba untuk membuka hati pada pemuda itu, namun bayangan Yeri yang menangis kala ia membatalkan pernikahan mereka yang hanya tinggal menghitung hari terus menghantuinya. Mark merasa akan mati di cekik rasa bersalah juga penyesalan.

Mark memukul kepalanya dengan keras berulang kali ketika wajah kesakitan Yeri dan Haechan saling tumpang tindih dalam kepalanya. Menghadirkan denyut nyeri dalam dada karena merasa telah gagal menjaga dua hati yang pada akhirnya sama-sama tersakiti.

"Arghhh! Kenapa harus aku?! Kenapa?!" teriak Mark sembari menjambak kasar rambutnya hingga berantakan, "Ayah, tolong, disini rasanya sangat sesak." jemari Mark meremas dadanya yang terasa sakit.

Haechan sering mengeluh bahwa pemuda itu menderita. Namun, tanpa Haechan tahu, Mark merasa jauh lebih menderita.

Haechan tak pernah tahu bagaimana dulu Mark begitu hancur ketika sang Ayah meminta dirinya untuk menikahi pemuda itu. Bagaimana Mark begitu terluka ketika akhirnya ia memutuskan secara sepihak tentang pembatalan pernikahannya dengan Yeri. Bagaimana Mark begitu ingin lari dari kenyataan ketika ia tak di beri pilihan.

Regret [ MARKHYUCK ] ✔Where stories live. Discover now