6. Desir

74 30 4
                                    

Jengah melihat kelakuan ayah dan ibu yang malah bermesraan tanpa memperhatikan anaknya, aku memilih kembali ke kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jengah melihat kelakuan ayah dan ibu yang malah bermesraan tanpa memperhatikan anaknya, aku memilih kembali ke kafe. Luka melihat kedatanganku dan langsung mendekat.

"Hana, lihat sini!" katanya sambil mengarahkan kamera polaroid yang ada di lehernya ke arahku. Lampu blitzer berkedip menyilaukan mataku. "Hana, ini!" katanya sambil mengibaskan kertas foto yang baru saja keluar.

"Apaan, sih?"

"Alah, ngambek pulak, kenapa? Kok, tumben cuma sebentar?" tanyanya lagi. Dia mengikuti sampai dapur. Aku meletakkan lagi tasku yang sudah seperti ransum perang itu. Di kafe ini, disediakan tempat untuk menyimpan barang-barang dan juga berganti pakaian. Letaknya ada di pojok dapur. Aku meraih apron dan memakainya segera.

"Ayah dan ibunya pasti sedang sibuk berpacaran, makanya dia ngambek, pengen jugak!" ejek Gladis yang masih sibuk dengan jagung panas di depannya.

"Wah, hebat!" kata Luka. Dia mendekati Gladis dan mencomot sedikit keju yang berceceran di pinggir nampan.

"Eh! Tanganmu!!" sentak Gladis keras. "Enak aja main comot-comot! Itu tangan jorok bekas foto, bekas bola basket!! Cuci dulu, dong!" protesnya.

"Tanganku bersih, Dis!" Luka mencolek hidung Gladis dengan sisa SKM dari pinggiran kalengnya.

"Whaaaaa! Lukaaaaaa!!" teriaknya kuat.

"Woy! Berisik!" Thalita berdiri di pintu dapur, "udahan belum Jasuke-nya?"

"Udah, dong!! Ini loh, Luka jahat banget. Liat muka aku jadi comeng!"

"Kamu itu comel, bukan comeng, Dis," sahut Thalita lurus. Dia meraih nampan, ingin mengambil menu buatan Gladis. Jagung manis yang masih hangat itu, dibalut dengan keju Mozarella dan susu kental manis yang begitu legit. Aroma butter yang meleleh, jagung dan susu berbaur menjadi satu.

"Tanganmu, juga kotor, Tha!"

"Ada kumat COD-nya anak ini, cuman kotor dikit aja pun. Heboh," keluh Thalita sedikit kesal. Dia berjalan ke arah westafel dan mencuci tangannya.

"OCD, Tha," ujar Luka sedikit mengkoreksi.

"Ayo, ayoo! Pesanan terakhir sebelum balik ke rumah!" seru seseorang dari pintu dapur. Reinald sudah datang. Kali ini dia datang lebih cepat dari biasanya.

"Yos! Pulaaaang!" seru Thalita kuat.

Kami berjalan pulang, Luka membawa bola basket kesayangannya. Dia mengantarkan Gladis dan Thalita ke ujung gang sampai menemukan angkutan untuk pulang. Gladis mendengarkan musik dengan air pod miliknya dengan sebelah kupingnya, sebelah lagi dipakai Thalita yang sesekali menggelengkan kepalanya berusaha menikmati musik yang berbunyi di telinganya.

"Kau melihat sesuatu, Hana?" tanya Luka padaku. Wajahnya memang masih terlihat cuek, tetapi dari nada bicaranya aku bisa merasakan kekhawatirannya. Dia memutar bolanya ke udara dan menangkapnya. Lalu berhenti dan melihat ke arahku. Pancaran sinar lampu jalan yang menerpa wajahnya membuat dia terlihat lebih ganteng dari biasanya. Apa karena lampu berhasil meng-highligt wajahnya, entahlah, aku tak ingin memikirkannya sekarang. Jantung kubisa tak aman jika terus-terusan melihat ke arah Luka. Kalau kau tahu wajahnya, dengan mata mono lid, rambut berantakan ala curtain berwarna hitam legam. Hidungnya lurus seperti prosotan anak TK walau tak sebangir Pak Pram.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang