8. Dedalu

58 26 5
                                    

"Itu balonnya mau ditaruh di mana, Kak?" Dira bertanya padaku, dia yang sedang sibuk mengikat balon berwarna perak yang dibentuk menyerupai bentuk hati.

"Kumpulkan di pojok sana saja, Dek. Makasih," sahutku.

Sudah hampir Magrib, ayah dan ibu sebentar lagi pulang. Pak Pram mengajak Pak Danis dan semua orang yang ada di kafe untuk membersihkan rumah. Rumahku menjadi ramai dan riuh. Pekerjaan berat menjadi cepat selesai. Makanan juga sudah terhidang di atas meja. Namun, hanya makanan untuk ayah dan ibu, sementara kami akan makan di rumah Paman Rendi nanti.

"Ayo, Hana, ayahmu hampir sampai," panggil Luka dari halaman.

"Iyaaa!"

Aku berlari kecil keluar rumah. Pasti ini akan menjadi kejutan paling indah untuk ayah dan ibu. Aku berencana membentuk memori baru untuk mereka berdua. Kalau memang aku tidak akan diingat, setidaknya mereka ingat jika mereka memiliki anak.

Ayah bilang, ingatan ibu berhenti saat mereka pertama kali berjumpa. Dan saat mereka baru saja melangsungkan pernikahan. Aku terhapus dalam ingatan ibuku, tetapi tidak dengan dua adikku yang sudah meninggal dunia itu.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Pak Pram setengah berbisik padaku. Dia sengaja memperlambat jalannya agar aku bisa mengimbangi langkah kaki jenjangnya. "Bilang aja kalau ada yang gak nyaman, jangan disimpan sendirian."

"Aku masih penasaran ama kamarku, Pak."

"Sebaiknya, jangan dibuka dulu. Takutnya kamu nanti kenapa-kenapa."

"Emang kenapa?"

"Bahaya, mending kalau mau buka kamar itu sama saya."

"Kenapa harus berduaan ama, Bapak?"

"Sebagai orang dewasa, saya akan melindungi kamu, Hana."

Aku memalingkan wajah, wajahku terasa panas sekarang.

"Nggak usah malu-malu gitulah, bikin gemes aja," ucapnya sambil lalu.

"Eh, Pram! Saya pulang dulu ya?"

"Dan, tunggu!" Pak Pram mengejar rekan kerjanya itu, mereka berbincang sebentar sebelum Pak Danis berhasil ditarik ke dalam rumah. Ayah dan ibu pulang, mereka berdua mengendarai motor skuter matik berwarna cream.

Derai tawa ibu dan ayah terdengar begitu merdu. Kami semua masuk ke rumah Paman.  Dua laki-laki dewasa itu sedang melaksanakan salat Magrib di ruang depan. Paman belum kembali, hanya ada bibi yang sibuk mengurus makan malam. Gladis dan Luka membantunya. Dira dan Thalita sibuk berbincang di depan kamar mandi menunggu aku yang sedang memandangi gayung di dalam ember.

"Ibun bahagia banget sepertinya," desisku pelan.

"Hanaa! Ayooo!" teriak Thalita dari depan kamar mandi.

"Yaaa!"

Kami berkumpul di ruang depan. Dua laki-laki dewasa itu sibuk berbincang. Suara mereka berdua memenuhi rumah dari ujung sampai ujung. Belum lagi tawa Pak Danis yang bisa menggetarkan jendela. Astagfirullah. Kupikir gempa.

"Udah jadi daftar 'kan, Pram? Bentar lagi tutup, loh, pendaftarannya. Awas, loh, nggak jadi daftar!" kata Pak Danis pada Pak Pram.

"Nanti, deh, tunggu injury time."

"Astagfirullah, janganlah, nanti malah ambyar semua persiapannya. Dari sekarang aja lah, mumpung masih lapang!"

"Iya, Dan, nanti aku cek dulu syaratnya." Pak Pram menyendokkan nasi ke mulutnya. Dia melirik ke arahku, lalu pandangan matanya beralih ke Pak Danis yang kini sibuk dengan ponselnya.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Where stories live. Discover now