Ayah, Aku Mau Kaya!

28 6 0
                                    

Entah sudah keberapa ratus kali aku melihat foto itu. Foto masa kecil ayahku ketika ia, saudara-saudaranya, serta orang tuanya pergi berlibur ke Singapura. Oh, ini masih belum ada apa-apanya. Bagi ayahku di masa kecil, pergi ke Singapura sama saja seperti pergi keluar kota. Seperti ke Bogor, atau ke Bandung, atau ke Puncak. Ia dan orang tuanya juga sudah mengunjungi beberapa kota di benua Eropa dan Amerika.

Aku? Ha! Menginjakkan kaki keluar Pulau Jawa saja belum pernah. Sungguh sial. Sampai saat ini, sampai usiaku menginjak 25 tahun, aku paling jauh melangkahkan kakiku yang jarang bertamasya ini hanya ke Bandung. Berbeda 180 derajat 'kan dengan masa kecil ayahku? Ya, nasibku yang satu ini memang tak pernah berhenti kukutuk dengan sepenuh hati. Juga ayahku. Juga kakekku.

Dulu, aku sering bertanya baik pada Ibu maupun pada Ayah, mengapa nasib keluarga kami sangat berbeda jika dibandingkan dengan keluarga Ayah? Ketika umurku 15 tahun, mereka hanya menjawab, "Sabar ya, Jaya. Ayah dan Ibu sedang berusaha memberikan kehidupan yang sama buat kamu." Kemudian, ketika aku menginjak 18 tahun, mereka baru mulai menceritakan kebangkrutan perusahaan Kakek yang menyebabkan seluruh kemiskinan ini menimpa keluargaku, dan juga keluarga saudara-saudara Ayah.

Tahun lalu, ketika aku menginjak usia 24 tahun, aku kembali menanyakan pertanyaan yang sama pada Ibu dan Ayahku. Saat itu, aku merasa sangat tertinggal ketika membandingkan hidupku dengan hidup teman-temanku. Beberapa dari teman-temanku sudah menikah, baik itu teman SMA, teman kuliah, atau bahkan teman kantorku. Jika tidak, setidaknya mereka sudah bertunangan dan sedang mempersiapkan diri untuk pernikahan. Aku? Bagaimana bisa aku memikirkan pernikahan jika biaya hidup sehari-hari saja harus kuhemat setengah mati? Belum lagi memikirkan biaya tagihan air dan listrik di rumah.

Jujur, ketika pertanyaan itu terlontar dari mulutku, aku tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap jawaban yang akan kudengar. Kupikir aku akan mendengar jawaban klise lagi seperti kali-kali sebelumnya, yang meskipun aku tau mereka berkata jujur, tapi tetap saja bukan jawaban itu yang kuharapkan. Aku berharap mereka menjawab bahwa ini hanya sekadar prank dan mereka menyimpan harta mereka di suatu brankas yang luar biasa besar untuk keluarga kecilku nanti. Namun, jawaban yang kudengar hari itu adalah jawaban paling tidak masuk akal yang pernah mereka lontarkan.

"Maaf ya, Jaya. Seharusnya Ayah dan Ibu waktu itu memutuskan untuk tidak punya anak saja," ujar Ayahku waktu itu. Ibu hanya tertunduk, tidak berkata apa-apa. Kupikir mereka mungkin hanya merasa bersalah karena tidak dapat memberikan penghidupan yang layak untukku. "Kekayaan dari buyut Ayah memang sudah diramalkan akan berakhir di keturunan ketujuh, yang artinya berhenti pada Ayah dan saudara-saudara Ayah."

Ketika mendengar pengakuan itu, daguku langsung melorot. Aku langsung membelalakkan mataku dan menatap Ayah dengan tatapan tidak percaya. "Hah? Ramalan dari mana itu? Ayah percaya ramalan gituan?"

Tanpa kusangka, Ayah menganggukkan kepalanya mantap. "Ada alasan kenapa Ayah dan Ibu baru cerita ke kamu di umurmu sekarang, Jaya. Kami harap dengan umurmu yang lebih matang, kamu lebih bisa berpikiran terbuka, dan melihat bahwa ada kekuatan-kekuatan di dunia ini yang melebihi akal pikiran manusia."

Sampai detik ini, satu tahun lebih setelah percakapan itu terjadi, meskipun aku masih mengingatnya sejelas aku mengingat telapak tanganku sendiri, aku masih enggan untuk percaya alasan tidak masuk akal itu. Namun, jika mereka bilang ada kekuatan-kekuatan di dunia ini yang melebihi akal pikiran manusia, mari kita buktikan itu. Aku sudah lelah menjadi miskin. Mari kita lihat apakah kekuatan-kekuatan yang disebut oleh Ayah mampu mengembalikan kekayaan Ayah, sama seperti ketika mereka mengambilnya.

====================

Di hadapanku, ada rumah satu lantai bergaya minimalis. Dengan alis yang tetap berkerut, aku bergantian mengecek alamat yang diberikan oleh temanku serta arahan dari Google Maps. Keduanya cocok, dan berdasarkan informasi dari Google Maps, aku sudah sampai di tempat tujuanku. Rumah dukun paling terkenal di daerah sini, kata temanku. Entah aku yang kurang update dengan hal-hal ini, atau temanku melebih-lebihkan saja.

Ayah, Aku Mau Kaya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang