002

544 85 14
                                    

◇──◆──◇

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

◇──◆──◇

Amber dan Pengembara bertukar pandang lalu kembali menatap gadis didepan mereka yang sedang tersenyum canggung.

Mereka tau betul jika [Y/N] pasti akan senang mendengar seseorang meminta bantuannya jadi aneh jika [Y/N] tiba tiba menghindar. Namun mereka juga tau apa yang membuat [Y/N] begitu ingin menghindar.

"Kalau begitu aku pergi ya~" pamit [Y/N] pada Amber dan Pengembara juga Paimon yang melambaikan tangannya.

'Huhh ... hampir saja ... aku memang ingin membantu menyelesaikan masalah mereka, tapi ... 'Orang itu' adalah masalahnya sendiri!!' batin [Y/N] lirih.

Benar, 'orang itu' yang dimaksud tak lain dan tak salah adalah seorang Cavalry Captain di Knight of Favonius alias Kaeya. Ia tak lain seorang bajingan yang suka menggoda wanita bahkan ia sangat suka menggoda [Y/N].

[Y/N] tak bohong. Ia memang pergi dan membeli makanan seperti roti dan beberapa buah lainnya.

Karena ini masih siang dan jika ia kembali kerumah pasti ia akan bosan karena tak ada kerjaan. Jadi, [Y/N] memutuskan untuk berkeliling Monstadt untuk menghilangkan rasa bosan juga menolong beberapa orang yang kesusahan.

◇──◆──◇

Ia tersenyum menatap seorang anak kecil sedang bermain didekat patung dewa Barbatos. Ya, sekarang [Y/N] sedang duduk dibangku taman yang tak jauh dari patung sang dewa.

[Y/N] berhenti sejenak untuk melepas penat lalu ia terpikir ingin ketempat yang lebih banyak pasokan angin-ya, ia ingin mencari angin disekitar windrise.

Semiliar angin menerpa kulitnya. Menerbangkan helaian rambutnya.

Sebuah pohon besar yang terletak ditengah padang rumput. Ia mulai berjalan menuju pohon itu, lalu mendudukan diri dibawah pohon besar tersebut.

Kedua matanya terpejam menikmati entah itu suara angin maupun suara daun yang bertabrakan akibat angin itu sendiri.

Tiba tiba ia mendengar suara keluhan samar samar dari balik pohon yang menaunginya.

Ia mendekat mencoba mencari asal suara. Perlahan namun pasti.

Irisnya melotot melihat pemandangan didepannya.

Dia. Ya, dia orang yang cukup dikenal dikota sebagai seorang penyair. Siapalagi kalo bukan Venti si penyair.

[Y/N] segera mendekati Venti yang terbaring lemas. Ia menjulurkan tangannya menyentuh pipi sang penyair.

"H-hei? apa kamu baik baik saja?" [Y/N] mencoba menbangunkannya dengan menepuk nepuk pelan pipinya.

Selain suka menyanyi, Venti juga orangnya SANGAT suka mabuk. Apa dia tadi malam mabuk berat sampai sampai pingsan disini?

Kening Venti berkerut seperti menahan sakit. [Y/N] mulai khawatir Venti masih belum menunjukan gerak geriknya.

Kedua matanya berkedut mencoba melihat sekitar. Dengan susah payah ia mencoba membuka matanya.

"Ugh..." Venti mengeluh lalu [Y/N] memopong tubuhnya ingin membantu mendudukan sang penyair.

"Apa kamu tak apa apa? tadi kamu pingsan disini. apa jangan jangan ada yang menyerangmu?" Tanya [Y/N] sambil menebak nebak tentu saja ada sirat khawatir dari kata katanya.

Sebelum membalas perkataan [Y/N]. Begitu suara yang cukup nyaring untuk mengheningkan kedua insan ini berbunyi, yang berasal dari perut si penyair.

Venti menundukan kepalanya sembari memegangi perutnya.

[Y/N] yang tadi diam menatap Venti kemudian tersadar, ia segera merogoh tas belanjaannya guna mencari roti untuk diberikan pada Venti yang enggan mengangkat kepalanya.

"Ini, makanlah." [Y/N] menyodorkan sepotong roti pada Venti.

Venti hanya diam enggan mengangkat kepalanya, bahkan menatap roti itu saja ia nampak tak peduli.

[Y/N] menghela nafas lalu menarik tangan Venti dan meletakan sepotong roti itu tepat ditelapak tangannya. Venti terkejut lalu menatap [Y/N] dengan tatapan bertanya tanya.

"Kalau kau tak makan nanti pingsan lagi." [Y/N] tersenyum lalu menyandarkan punggungnya dipohon tempat mereka bernaung saat ini.

Venti menatap [Y/N] lalu menatap sepotong roti ditangannya secara bergantian lalu ia memakannya.

Sepertinya memang mabuk, lalu ia kelaparan dan tak memiliki tenaga untuk mencari makanan dan berakhir pingsan disini. Dilihat dari wajah sembab si penyair sepertinya dia memang mabuk.

[Y/N] menatap lautan rumput didepannya sesekali menatap Venti dari ekor matanya.

Setelah menghabiskan sepotong roti pemberian [Y/N] ia menatap [Y/N] dalam dalam lalu tersenyum riang seperti biasa sembari duduk disamping [Y/N].

"Nona terimakasih untuk rotinya. Dan sebagai tanda terimakasihku, aku akan menceritakan kisah seorang dewi periang dari Liyue." Venti berucap sembari memegang lyrenya dan mulai bercerita sambil bernyanyi diiringi oleh melody dari lyre miliknya.

Tbc_
____________________
____________________

Sorry gaje hhe jaga kesehatan kalian selalu~ jangan lupa makan dan tetap semangat!!

See you next chapter😉

𝙇ö𝙬𝙚𝙣𝙯𝙖𝙝𝙣:::VENTIWhere stories live. Discover now