Warisan-2

97 5 1
                                    

Mendengar perkataan Dion, tampak wajah ketakutan Nani.

"M–Maksud kamu?" Nani berkata dengan nada gugup.

Tampak keringat dinginnya menetes. Anik yang melihat sahabatnya ketakutan memegangi tangannya.

"Nani, sosok yang mengganggumu itu dari pusaka turun-temurun kakekmu. Namun, ada satu yang janggal. Jika pusaka itu dari kakekmu, seharusnya dia tak mengincar nyawamu. Tapi ini berbeda," kata Dion menjelaskan.

Nani terdiam dengan wajah ketakutan seperti ada yang dia sembunyikan. Dion tersenyum kecil seolah tahu sesuatu yang di sembunyikan Nani.

"Nani, selama ini kamu menyimpan satu pertanyaan besar yang belum terjawab. Coba kamu ceritakan saja apa yang kamu ingat," ucap Dion kemudian.

Sejenak, Nani merasa galau. Dia pandangi sahabatnya.

"Ni, sebaiknya apa yang jadi uneg-unegmu kamu ceritakan saja. Siapa tahu nanti ada solusi dari masalahmu," kata Anik.

Sambil meminum sedikit minuman di depannya, akhirnya Nani menceritakan apa yang di alaminya. Dia menjelaskan, bahwa surat itu adalah berita duka atas meninggalnya sang ayah, dan juga ibunya yang mulai sakit keras. Cerita Nani mengenai ayahnya begitu menyedihkan. Ternyata, Nani di bawa ke Jakarta oleh pamannya karena kondisi keluarganya yang memprihatinkan.

"Sejak ayahku mulai gila, semua usaha ayahnya mulai mengalami kebangkrutan. Ibu yang berusaha mengelola tak mampu membuat usaha keluarga bangkit. Akhirnya, dua tahun kemudian, Pamanku memutuskan untuk membawa aku ke Jakarta. Sedangkan dua adikku di rawat oleh kedua kakak ayahku di kampung," kata Nani.

Anik dan Dion begitu prihatin mendengar cerita Nani.

"Oh ya, bagaimana saudara ibumu? Bukankah mereka kaya raya?" tanya Anik.

Nani hanya menggelengkan kepalanya. "Saudara ibuku semuanya membenci keluarga kami. Memang, saudara ayahku itu awalnya bersikap sinis pada keluarga kami. Hanya Paman Suli yang baik pada kami. Itupun, karena Paman Suli memang besar di sebuah pondok pesantren. Namun, setelah ayahku mulai sakit, entah bagaimana caranya akhirnya keluarga ayahku akhirnya peduli pada kami. Kedua adikku di bawa oleh kakak ayahku di kampung."

Mendengar cerita Nani, Dion lalu berkata, "Ni, kamu keluarga ayahmu awalnya sempat tak merestui hubungan ayah dan ibumu?"

Nani hanya mengangguk.

"Kamu ada foto ayahmu?" tanya Dion kemudian.

Nani mengeluarkan foto keluarganya dari dompet yang dia bawa. Dia berikan foto itu kepadanya. Dion memanadangi foto itu, dan kembali dia mendapatkan sebuah penglihatan.

–Penglihatan Dion–

Dion mendapati dirinya di sebuah tempat asing. Tempat itu adalah sebuah pedesaan. Di sana, dia melihat ada seorang Tuan Tanah yang kata raya. Di suatu tempat, dia bersitegang dengan seorang warga.

"Narso, bayar hutangmu!" bentak tuan tanah itu.

Narso yang saat itu kehidupannya memprihatinkan memberikan sejumlah uang. Tuan tanah itu memandangi uang darinya dengan wajah kurang suka.

"Apa-apaan ini?! Hutangmu banyak, Narso! Bunganya saja tiga kali uang ini!" bentak Tuan Tanah itu.

"Maaf, Pak Bowo. Hanya uang ini yang saya punya," kata Narso dengan nada memelas.

Narso memberi kode pada pengawalnya. Dan, pengawalnya langsung memukuli Narso. Istrinya yang melihat suaminya di pukul tak terima. Dia keluar dari dalam rumahnya, dan berteriak histeris.

"Tuan, jangan pukuli suamiku," katanya sambil menangis.

Namun, tangisannya tak di hiraukan Bowo. Pengawalnya terus memukuli Narso hingga meninggal. Melihat suaminya meninggal, istrinya langsung berlutut dan memeluk suaminya.

Kumpulan Cerpen HororWhere stories live. Discover now