Finish

172 46 10
                                    

Satu minggu kemudian...

Pintu besi rooftop sekolah terbuka. Alvin bergegas menghampiri Ravin yang sudah menunggunya di pagar pembatas. Menikmati sapuan angin yang mengembus wajahnya.

"Angin di sini kencang sekali."

Ravin tak mengimbuhi, asyik memandang panorama sekolah yang indah. Terutama bunga-bunga dan pepohonan hijau di kebun.

"Kenapa kau memanggilku, Ravin?"

"Aku bertanya pada guru BK. Kau tahu? Saga tak pernah dilaporkan oleh Pak Danny. Bahkan sebenarnya beliau tidak ikut campur sama sekali. Guru BK menjawab, Saga dan teman-temannya ada di rumah sakit. Aneh, bukan? Kenapa mereka sampai dirawat? Kenapa mereka terluka? Bukankah kau bilang Pak Danny membawa mereka ke BK?"

"A-aku tidak mengerti apa maksudmu—"

Ravin mengeluarkan kertas formulir yang dibuang petugas kebersihan, menyerahkan kertas itu ke Alvin tanpa membalikkan badan, tetap lurus ke arah lapangan sekolah.

"Itu punyamu, kan? Alvin Gandhara. Aku merasa aneh ketika menemukannya. Jika awalnya kau ingin bergabung ke klub PMR, kenapa kau berubah pikiran dan mendaftar ke ekstrakurikuler pencari orang hilang?"

"S-sebenarnya apa yang kau bicarakan??"

"KENZO!" Nada suara Ravin naik seoktaf. "Dia tidak menatapku. Dia tidak takut melihatku. Yang sebenarnya dia tatap adalah kau, Alvin. Kau berdiri di belakangku. Kau lah yang dilihatnya. Kau menolongnya di kantin. Secara tidak langsung kau mengancamnya. 'Aku sudah menyelamatkanmu, jadi kuharap kau bisa pura-pura tidak tahu.' Seperti itu."

Kali ini Alvin tidak segera menyanggah. Dia diam, menatap Ravin lemas. Dari tadi Ravin membicarakan sesuatu yang tak dia pahami.

"Saat aku bilang terima kasih sudah mau membelaku dari Saga, kau mengucapkan terima kasih kembali padaku. Hahaha! Kau benar-benar munafik. Kau mengucapkan terima kasih karena aku menjadi avatarmu. Kau berlindung dengan menggunakanku."

Ravin menghela napas panjang, terkekeh miris. "Aku tertipu. Aku sudah pernah curiga karena tinggimu, gelagatmu yang selalu mengenakan jaket. Tapi aku menepis gagasan tersebut. Itu tidak mungkin. Alvin kan laki-laki lemah. Dia bahkan tak melawan saat dicengkeram oleh antek-anteknya Genta."

Alvin diam tak berkomentar.

"Kau kan yang memukul Leo, Genta, dan Bara? Mengambil barang bukti yang mereka curi kemudian mengubah sampelnya menjadi seseorang yang kau kenal. Pintar sekali."

Ravin menatap Alvin tajam.

"Waktu bertabrakan di lorong sekolah, kita mendengar suara gemerincing bel dari gantungan tas seseorang. Tapi kau justru menyentuh pergelangan tanganmu. Itu karena kau khawatir yang barusan berbunyi adalah lonceng dari gelangmu, kan?"

Grep! Ravin menggenggam lengan Alvin.

"Bukankah karena itu kau rela panas-panasan memakai jaket supaya tidak ada orang yang melihat gelang merahmu... APOCALYPSE!"

Menatap lembut, Alvin balik memegang tangan Ravin yang mencengkeram lengannya, beralih menyentuh bahu cowok itu.

Seketika Ravin terduduk.

Eh? Ravin berbinar-binar. Peluhnya menetes. Padahal Alvin cuman menyentuh bahunya, namun, rasanya seperti ditimpa balok besi.

Alvin tersenyum. Angin menerpa rambutnya.

"Aku harap kau terus diam. Atau..."

"Aku harap kau bisa merahasiakan soal ini sampai kita lulus SMA, Ravin. Atau..."

Deg, deg, deg.

Perasaan takut ini... Perasaan sama saat Apocalypse berdiri di depannya. Padahal Ravin sudah belajar bela diri mati-matian. Tapi, lagi-lagi dia tak berdaya di depan Apo.

Tatapan culun Alvin berubah dingin.

"Kau tahu apa yang akan terjadi."

"Kau tahu apa yang akan terjadi."




***THE END***

Hmm, udah selesai kurasa? Yah, aku tidak berniat bikin panjang2 juga. Karena cerita kampret inilah aku jadi ngaret ngetik Apol. Yang penting udah ending. Babai!






[END] Missing : Looking for The ApocalypseWhere stories live. Discover now