xli • Phagocytosis

36 5 0
                                    

Pagi ini, aku dan para peserta lain akan menghadapi seleksi OSN tingkat kota. Tahun ini seleksi akan dilaksanakan di SMA Negeri yang lumayan dekat dari rumahku, sehingga aku punya waktu lebih banyak untuk bersiap-siap dari rumah.

Aku memutuskan untuk datang ke sana agak mepet dengan waktu dimulainya kegiatan, sehingga aku tak mati gaya menunggu di sana. Aku teringat pada Vincent yang selalu menyendiri tak mau diganggu setiap persiapan tes, sehingga aku pasti tak bisa mengobrol dengannya.

Menghabiskan waktu kosong dengan Nathan pun sepertinya belum bisa jadi pilihan, karena aku sebenarnya masih sedikit malu-malu di dekatnya. Ia memang kuakui adalah pribadi yang sangat asyik dan lucu, namun ia tak ragu-ragu untuk menyebutku "Cici kecil" di depan banyak orang—membuat beberapa orang di klub Biologi ikut iseng menggoda kami dengan memanggilku demikian.

Begitu pula dengan Rachel dan Galuh. Aku belum benar-benar mengenal kedua juniorku itu lebih dekat. Yang kutahu, mereka berdua sepertinya sahabat kental karena sering menghabiskan waktu berdua. Aku hanya tak ingin jadi kakak kelas sok asyik yang tiba-tiba bergabung dengan mereka hanya hari ini.

Setelah menyantap habis nasi uduk masakan Bi Yati dan berpamitan pada keluargaku, aku pergi ke sekolah tempat diadakannya seleksi bersama Pak Iwan. Papa memang hari ini berangkat ke rumah sakit pagi sekali, sehingga tak bisa mengantarku ke sana.

"Yah, agak macet nih, Non!"

Aku melihat jalanan di depan mobil yang kunaiki. Ternyata benar, jalan cukup padat hingga kami hanya bisa bergerak pelan. Aku melihat di aplikasi peta rute yang kami lalui berwarna merah, padahal tujuan kami sebenarnya sudah cukup dekat.

Aku menggigit bibirku panik. Sepertinya aku agak salah perhitungan. Meski begitu, sepertinya tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu dan berharap aku sampai tepat waktu di sana.

Aku tiba di sekolah tujuanku, hanya sekitar lima menit sebelum rangkaian acara dimulai. Hampir saja, pikirku. Aku berlari memasuki area sekolah, berharap aku tak melewatkan hal penting apapun sebelum berlangsungnya kegiatan.

"Cici!" panggil Nathan yang bergerak menghampiriku. Ia menatapku sambil manyun, memamerkan pipinya yang bulat seperti hamster. "Cici sengaja telat, ya? Aku sendirian dari tadi, tau!"

"Ya ampun," ujarku sambil tertawa kecil, meski masih agak ngos-ngosan. Aku jadi agak kasihan padanya. "Maaf ya, aku nggak tau kamu ditinggal sendirian. Memang yang lainnya ke mana?"

"Pada tega banget, ya," keluhnya lugu, membuat wajahnya semakin terlihat jenaka. "Rachel sama Galuh tadi katanya sarapan di luar, tapi sampai sekarang belum balik-balik. Ko Vincent nggak tau di mana."

"Gue dari tadi di sini, lho," ujar Vincent, yang tiba-tiba muncul dari arah belakangku. "Kok lo nggak nyariin gue?"

"Anda siapa, ya?" tanya Nathan cemberut. "Jangan baru perhatian sekarang, ya. Mentang-mentang ada Cici!"

Melihat perseteruan kecil antara Nathan dan Vincent membuatku tak bisa menahan gelak tawaku. Meski sama-sama jenius, kedua rekan OSN-ku ini seperti kutub utara dan selatan dalam hal kebiasaan. Vincent adalah siswa rajin yang benar-benar fokus belajar, selalu begitu sejak pertama kali aku mengenalnya. Adapun Nathan selama pelatihan mengaku lebih sering mengikuti intuisinya, dan belajar dengan begitu santai—bahkan lebih santai dari Kak Joshua.

Seorang panitia mengarahkan para peserta untuk bersiap-siap masuk ke ruangan seleksi, yang seketika membuyarkan percakapan kami. Kulihat Vincent ditempatkan di kelas yang sama denganku, sedangkan ketiga junior kami berbeda kelas dengan kami berdua.

Aku mengecek HP-ku untuk terakhir kalinya sebelum memasuki kelas. Sebuah pesan dari Nathan baru saja masuk.

Nathan 🐹
Semangat cici kecil! 🐰
08.51

Aku menggeleng heran, meski tak dapat menyembunyikan senyumku membacanya. Ia memanggilku dengan panggilan seperti itu, padahal setelah kutelusuri ternyata ia hanya sebulan lebih muda dariku.

Bukannya Nathan yang terlalu tua untuk angkatannya, tetapi memang aku yang terlalu muda untuk angkatanku. Saat berumur lima tahun, aku merengek ingin langsung masuk SD—karena jika aku masuk TK sesuai dengan umurku, aku tidak satu sekolah dengan Sora-san yang masuk kelas II SD. Itulah mengapa sebenarnya usiaku lebih cocok dengan angkatannya Nathan.

Siswa-siswi para peserta seleksi beriringan masuk ke kelas, membuatku segera mengikuti mereka. Kemudian aku duduk di kursi yang telah disiapkan untukku. Tak lama, soal dibagikan dan tes pun akan segera dimulai.

Aku menengok sesaat ke belakangku. Kutemui wajah-wajah yang seluruhnya asing. Aku teringat pada kejadian tahun lalu, di mana Kak Joshua membangunkanku saat aku tertidur ketika tes masih berlangsung. Aku tersenyum dalam hati mengingatnya, walaupun saat kejadian aku cukup kesal padanya.

Kak Joshua tidak di sini sekarang. Kali ini, aku tak boleh sampai ketiduran lagi.

Di rangkaian OSN tahun ini, tak ada lagi Kak Joshua yang berjuang bersamaku. Semua pasti akan terasa berbeda, dan jujur saja aku agak merasa kehilangan. Meski begitu, ia sempat memberikan padaku sebuah doa yang ia bilang senantiasa ia panjatkan sebelum menghadapi tes dan ujian.

Aku sempat ragu untuk berdoa, karena seakan-akan aku hanya datang pada Tuhan saat aku ada maunya saja. Apalagi sebelumnya aku bisa dibilang agak jarang mengingat-Nya. Tetapi aku ingat Kak Joshua bilang padaku bahwa bahkan di saat manusia lupa pada Tuhan, Ia takkan pernah lupa untuk mengasihi kita.

"Father, my trust in you is eternal. I give you the anxiety I feel, I surrender all my worries to you. Clear my mind, clear my heart, still my spirit, relax my being. That I may always glorify you in everything I write, speak and do. Amen."

Aku siap memulai perjuangan OSN-ku tahun ini, menghadapi semua tantangan di setiap tahapannya dengan segenap kemampuanku.

🌸

Eternal Spring (Fin.)Where stories live. Discover now