xxii • Frameshift mutation

3 2 0
                                    

Hari ini Kak Joshua menepati janjinya berbulan-bulan yang lalu, yaitu menraktir seluruh anggota klub Biologi di Caturday. Hal itu karena ada dari kami siswa-siswi kelas X yang lolos OSN hingga tahap nasional, sehingga klub kami tak jadi bubar. Selain itu juga karena Kak Joshua berhasil membawa pulang medali OSN Biologi tahun ini.

Kak Joshua membawakan beberapa menu platter besar dan enam gelas minuman dari dapur Caturday. Kami berseru kegirangan.

"Ini Kak Joshua sendiri yang bikin?" tanyaku penasaran.

"Iya," ujarnya. "Puas lo pada."

Kami tertawa senang melihat Kak Joshua akhirnya mau menuruti permintaan kami. Kak Joshua pergi lagi ke dapur untuk melepas apronnya, setelah itu ia bergabung bersama kami. Kemudian kami berenam kembali bercakap-cakap seru.

"Keren banget Kak Josh dapet medali emas," ujar Cindy. "Selamat, ya."

"Ya harus, soalnya kan ini tahun terakhir gue bisa ikut olim," ujarnya. "But thanks, guys. Tahun depan kalian, ya."

Kami semua memberi selamat dan mengamini harapan Kak Joshua.

"By the way," ujarku. "Selamat juga buat Rama, Vania, sama Cindy udah menang juara tiga lomba cepat tepat di IPB, ya... Semoga lomba selanjutnya bisa juara satu."

"Thank you, guys. Semoga kedepannya kita makin banyak menang," ujar Rama sambil mengangkat gelas latte-nya. "Cheers!"

Kami bersulang dengan minuman kami masing-masing. Aku melirik Vincent yang nampak terlihat sportif dan ikut merayakan bersama kami.

Mengingat kejadian sebelum OSN tingkat nasional, tadinya aku pikir kemarahannya akan membuat Vincent menarik diri sejenak. Namun sekarang ia bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Mungkin itu yang terbaik, karena akupun tak ingin banyak orang tahu tentang apapun antara aku dan dirinya waktu itu.

Aku melihat ada lebam di pipi dan sisi hidungnya, namun aku sungkan untuk bertanya mengapa padanya.

"Oh iya," ujar Vania, membuyarkan lamunanku. "Vincent juga ulang tahun lho, kemarin."

"Wah, happy birthday, Bro," ujar Rama. "Tuh, Bang Josh, Vincent aja yang bayarin kita hari ini."

Vincent hanya bisa meringis tak setuju. Aku, Rama, Vania, dan Cindy tertawa melihat reaksinya.

"Yang lain diselamatin gara-gara menang lomba," ujar Vincent merengut. "Gue cuma gara-gara ulang tahun doang, haha."

"Tenang, Cent," ujar Vania sambil menepuk-nepuk punggung Vincent sambil tertawa kecil. "Masih banyak kesempatan."

Kami semua setuju dengan Vania, dan kembali merayakan apapun yang bisa dirayakan hari ini. Aku senang sekali akhirnya seluruh anggota klub Biologi bisa menghabiskan waktu di luar konteks pelajaran, dengan mengadakan pertemuan santai seperti sekarang. Aku berharap semoga kedepannya kami bisa sering mengadakan pertemuan yang semakin mempererat pertemanan kami seperti saat ini.

Tak terasa, hari semakin sore. Kami sepakat untuk menyudahi kebersamaan kami sore ini, dan beranjak pulang dengan hati penuh senang.

Aku keluar dari Caturday sambil menunggu Pak Iwan, supir Papa yang sedang bergerak kemari untuk menjemputku. Di dekat parkiran, kulihat Vincent masih duduk di sana dan belum beranjak pulang. Aku menimbang-nimbang apakah aku ingin menyapanya, karena aku takut ia masih marah kepadaku.

Namun mengingat mood-nya saat bersama klub Biologi tadi yang sepertinya baik, aku memberanikan diri untuk menyapa Vincent. Dalam hatiku, aku tidak ingin pertemanan kami hancur hanya karena emosi sesaat. Diriku sendiri telah berdamai dengan apapun yang kurasakan saat itu terhadapnya.

"Cent," panggilku. "Belum pulang?"

Aku melihat sebuah game console berada dalam genggamannya. Setelah satu semester lebih aku dekat dengannya, aku baru tahu sekarang bahwa siswa teladan yang nampak rajin itu ternyata lebih keranjingan game dari yang selama ini kupikirkan. Aku mencoba mengerti, mungkin sebegitu kalut pikirannya sehingga ia perlu mencari pelampiasan di luar aktivitas hariannya yang penat dan menguras kewarasan.

"Sorry, ya," katanya, masih sambil beberapa saat bermain. Aku mengangguk paham dan duduk tak jauh darinya.

Hening. Di langit, matahari mulai terbenam. Aku masih menerka-nerka perasaan Vincent saat ini, dan belum berani berkata apapun padanya.

"Na, lo berhak nggak maafin gue soal kejadian waktu itu," ujarnya tiba-tiba, mengingatkanku kembali pada kejadian yang sudah berusaha kulupakan. "Tapi gue tau gue salah, dan gue serius minta maaf ke lo."

"Gue juga minta maaf udah nuduh lo yang nggak-nggak," sambungnya. "Gue tau lo tulus sama gue. Tapi guenya yang jahat dan bingung sama perasaan gue sendiri."

"I wasn't sure if we're good for each other," lanjutnya, meski tak kuasa melihat ke arahku.

"Iya," ujarku, berusaha tersenyum meski luka itu agaknya terasa lagi. "Aku ngerti, kok."

"Tapi gue jujur waktu gue bilang gue sempat ada perasaan sama lo," ujarnya pelan. Aku terhenyak, hanya bisa termenung mendengarkannya. "Hari itu gue marah cuma karena gue frustasi udah belajar mati-matian, tapi lo yang lolos. Lo punya support system yang tetep nerima lo kalo lo gagal, tapi gue enggak."

"Cent," ujarku, sambil melihat lebam di pipi dan hidungnya. "Itu perbuatan orang tua kamu?"

"Bukan," ujarnya. "Don't worry about it. I deserved it."

Aku berpikir sesaat. Vincent sepertinya bukan tipe orang yang melampiaskan emosinya dengan berkelahi. Kalau bukan karena perbuatan orang tuanya, apakah ini akibat konflik di laboratorium waktu itu? tanyaku dalam hati. Tapi tidak ada yang tahu soal kejadian itu—

Kak Joshua? Tapi untuk apa ia membalas perbuatan Vincent demi aku?

"My parents did something different," ujarnya, membuyarkan alur berpikirku.

"Cent," ujarku tulus bersimpati. "Kalo kamu mau cerita, aku masih mau dengerin kamu seperti biasanya. Kamu masih aku anggap teman baik aku."

"That's what I adore about you," ujarnya, seraya tersenyum kecil. "Makasih, ya."

"Oh, iya," aku mengeluarkan kotak kado berwarna biru berisi nendoroid yang sebulan lalu kubelikan untuk ulang tahunnya. "Ini buat kamu. Happy belated birthday, ya."

"Kenapa?"

"Karena kamu udah baik sama aku semenjak kita saling kenal," ujarku sambil tersenyum.

"Lo yang udah baik sama gue, Na," ujarnya, akhirnya berhenti memainkan game console-nya. Ia dengan sungkan menerima kotak kado itu dari tanganku. "Tapi makasih banyak, ya."

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Pak Iwan datang. Ia berhenti di pinggir jalan, tepat di hadapan kami. Aku segera bersiap-siap pulang dan menghampirinya.

"Na," panggil Vincent. Aku menoleh ke arahnya sesaat. "Tentang bahasan di grup kelas waktu itu, gue tau temen-temen agak jahat sama lo. But I made sure things will be okay. I promise."

"They will," balasku. Aku sendiri sudah berusaha berpikir positif tentang keputusan teman-temanku, apapun intensi di baliknya.

I just need to face it with strength, and make something good comes of it.

Aku kembali berjalan menuju Pak Iwan yang sejak tadi menunggu, meninggalkan Vincent sendirian. Kini langkahku semakin ringan karena aku dan dia telah berdamai, dan kuharap pertemanan kami bisa kembali seperti sedia kala—meski perasaan yang lebih dari itu untuk saat ini sudah di luar persamaan.

"Bye, Vincent," ujarku tersenyum, aku melambaikan tangan ke arahnya. "Take care."

🌸

Eternal Spring (Fin.)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora