28 - Ternyata ....

65 3 6
                                    

"Kamu tidak punya pilihan," sahut Luan enteng.

"Aku selalu punya pilihan!"

"Apa yang akan kamu lakukan?" tantang Luan. "Mengadu pada mamamu? Mengatakan pada papamu kalau aku berselingkuh sampai lahir bayi? Bagaimana kalau kujawab itu semua dengan menceritakan kepergianmu tanpa kabar selama sepuluh bulan? Apa saja yang kamu lakukan entah dimana, dengan siapa, mengapa kamu lakukan itu ... sudah siap dengan jawabanmu? Kamu harus menjelaskan itu semua secara detail pada orang tuamu. Kamu sudah siap dengan reaksi mereka nanti?"

Cepat Aurora menyahut, "Aku nggak lakukan apa-apa-"

Luan memotong, mencecar, "Kamu dalam posisi yang salah, sama salahnya denganku-"

Aurora balas mengejar. "Aku cuma liburan, solo travelling, nggak lakukan apa-apa!" pekiknya marah.

"Saya tidak masalah mengungkapkan kalau kamu menolak sekamar dengan saya bahkan sejak hari pernikahan!" balas Luan cepat.

"Itu semua ada alasannya!" seru Aurora tidak mau kalah.

"Saya juga punya alasan!" seru Luan dengan nada tinggi. "Sebesar apa rasa kecewa orang tuamu nanti saat mereka tahu bahwa kamu tidak pernah menjadi seorang istri yang sesungguhnya?"

"Biar mereka tahu kalau keputusan mereka menikahkan kita adalah sebuah kesalahan besar!"

"Jangan lupa sebutkan juga kalau kamu terus saja menangisi dan mengharapkan laki-laki lain, yang sekarang sudah menjadi suami orang," kata Luan. "Jangan terlalu tega pada orang tuamu, Aurora, harus berapa banyak hal mengejutkan yang harus mereka dengar?"

Tidak ada yang bersuara setelahnya.

"Saya tidak akan berbuat sejauh ini jika saja kamu tidak pergi tanpa kabar sama sekali, Rora. Saya tahu saya bersalah padamu, dan saya bersedia menebus kesalahan saya makanya saya tidak pernah memprotes tiap kamu mengatakan banyak hal menyakitkan pada saya. Saya bisa tahan dengan semua perlakuanmu, tapi dengan kepergianmu ... cukup bagi saya. Saya juga punya hati, Rora. Tidak hanya hatimu saja yang sakit karena tidak bisa bersatu dengan Sena. Saya juga," ujar Luan pelan.

Aurora menyahut, "Akar permasalahan semua ini kan karena ulahmu. Stop playing victim."

Luan terdiam sejenak. "Tolong rawat bayi kita baik-baik, Rora, saya percaya padamu," katanya kemudian hendak beranjak ke kamar.

"Siapa ibu bayi itu?" tanya Aurora menahan Luan.

Luan menjawab dari balik bahu. "Kamu tidak perlu tahu."

***

Enam bulan yang lalu.

Dengan berurai air mata, Inka mengadu pada Luan, pagi hari itu. "A-aku ... aku ... aku beneran ...." Inka nyaris tersedak air matanya sendiri, tak kuasa melanjutkan ucapan.

"Tenanglah, seka air matamu," ujar Luan sembari mengambil tisu, menyerahkannya pada Inka. "Tarik nafas perlahan."

"Aku ...."

"Kamu benar-benar tidak haid, tiga bulan ini?" tanya Luan lembut, penuh perhatian.

Inka mengangguk, bahunya gemetaran menahan isak tangis.

"Dan hasilnya? Katamu kamu mau tes pakai testpack pagi ini."

"P-positif ... Luan ...," jawab Inka tersendat.

Luan mengangguk. Betapa tenang pria muda satu ini.

"Aku positif ... aku hamil! Lalu aku harus gimana???" Inka semakin larut dalam emosi.

"Apanya yang gimana?" Luan menyahut. "Kamu bersuami, apa yang aneh bila seorang istri hamil?"

"Kenapa kamu tenang sekali??" sentak Inka tak percaya dengan reaksi Luan. "Kan kamu tahu sendiri kalau aku dan Sena ... kami jarang berhubungan! Malah lebih sering aku habiskan waktu bersama kamu! Ini ... ini ... kurasa ini anak kamu!"

"Dia tidak akan tahu," jawab Luan, masih dengan ketenangan yang luar biasa. Luar biasa menyebalkan. "Dia tidak akan curiga ... kamunya juga jangan berbuat yang tidak perlu, yang bisa bikin dia curiga."

"T-tapi ...."

"Selama tiga-empat bulan terakhir ini, ada hubungan terjadi dengannya, kan, Inka?" Luan bertanya, matanya menatap Inka menunggu konfirmasi.

Inka terdiam sejenak, mengingat-ingat. "Aku ... aku terakhir berhubungan dengan Sena ... kira-kira bulan Januari lalu ... oh iya. Sehari setelahnya aku haid. Itu haid aku terakhir!" tuturnya.

"Kamu katakan pada Sena soal kamu haid? Atau apakah dia tahu kamu haid?"

Inka menggeleng. "Saat itu dia selalu berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam ... Kami nyaris nggak berkomunikasi waktu itu, saking dia tengah sibuk-sibuknya menyambut event di kantornya. Iya. Betul seperti itu. Dia nggak tahu aku haid ...." Inka merunut kejadian-kejadian yang lalu dalam benaknya. "Lalu setelah itu, di akhir Januari ... bahkan sampai pertengahan Februari, aku selalu sama-sama kamu! Aku selalu menghabiskan waktu sama kamu, Luan! Ini jelas anak kamu!"

Senyum jahil tersungging di wajah Luan menanggapi ucapan Inka. "Yeah. Saya ingat sekali waktu itu ... kamu tidak pernah puas selalu minta lagi, minta lagi," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata pada Inka, membuat pipi wanita itu memerah. "Kamu wanita yang penuh gairah. Bagiku kamu sangat menggemaskan."

"Luan, ihh!" Inka mendorong pelan bahu Luan. "Ini kan lagi bahas hal yang serius, hal yang penting! Malah sempat-sempatnya merayu," rajuknya.

Luan terkekeh senang. "Sudahlah, Inka. Untuk apa dipikirkan terus? Sena tidak akan curiga. Percayalah. Jika bayi itu lahir nanti, siapa pun tidak akan ingat tanggal berapa dia terakhir berhubungan. Ingatannya akan rancu. Terkecuali dia punya kebiasaan mencatat kehidupan seksnya. Apakah dia seperti itu?"

Inka menggeleng. "Dia ... Sena justru orang yang paling nggak bisa mengingat tanggal ...."

"Bagus dong, such a blessing in disguise," sahut Luan. "Kamu tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Kamu pulang, dan katakan padanya kalau kamu sempat tes pakai testpack di kantor, lantaran kamu terlambat haid sudah tiga bulan, dan hasilnya positif. Katakan itu padanya dengan wajah yang berseri-seri, itu adalah kabar gembira bagi sepasang suami istri. Dia pasti akan bahagia mendengarnya, Inka."

Inka memandangi atasannya itu dengan pandangan seolah tengah mencari sebuah kepastian.

Luan mengangguk, mengonfirmasi. "Yakin. Percaya padaku."

Di hari yang sama pula, Luan menemani Inka memeriksakan kandungannya di dokter. Inka masih gamang, galau, sebab hasil perselingkuhan yang ia lakukan malahan berbuah dalam tubuhnya. Ia telah mengkhianati Sena. Ditambah, Inka tidak ada maksud mengakui perbuatannya, yang berarti, ia akan terus berbohong pada Sena. Inka akan membuat Sena gembira menyambut kehadiran bayi, tanpa pernah Sena tahu, bahwa yang tumbuh dalam rahim Inka, bukanlah benihnya.

Luan tidak ikut masuk ke dalam ruangan dokter, dia duduk di ruang tunggu, sibuk dengan ponselnya.

Tidak lama Inka keluar dari ruangan, wajahnya yang semula lesu, kini terlihat semakin pucat.

"Inka?" sambut Luan saat wanita itu duduk di sampingnya. "Apa kata dokter? Benar, usia kandunganmu tiga bulan?"

Inka tidak menyahut.

"Inka?" Luan menggenggam tangan wanita itu, membuatnya tersentak sadar. "Kamu nggak apa?"

Inka menggeleng lemah. "Nggak apa. C-cuma shock ...."

"Bukannya fase shock harusnya tadi di kantor?" Luan terkekeh. "Dokter bilang apa?"

"Kandungan aku benar udah tiga bulan ... perkembangannya bagus ...," jawab Inka lirih.

"Bagus dong, sehat terus ya," sahut Luan sambil tersenyum.

"Luan," lirih Inka. "Dari hasil USG ... janinnya ada dua."

Senyum Luan memudar.

I Hate You, HusbandOù les histoires vivent. Découvrez maintenant