Chapter 5

325 23 0
                                    

Bukan alarm yang membuat Rere bersusah payah bangun, tapi suara berisik terus menerus, terburu-buru dan tidak sabaran yang Rere yakin membuat dia dan Devan sedikit terganggu sekarang. Mengumpulkan seluruh nyawanya yang berat Rere menggeser lengan Devan. Membuat si pemilik mengerang sebentar, agaknya Rere takut pria ini akan benar bangun dan memaki. Rere yakin tak pernah menyetel alarm dengan nada berteriak seperti itu di ponselnya, tapi sedikit kesadarannya ingat yang berbunyi itu adalah benda silver miliknya, penyebab Devan juga enggan bangun dan lebih memilih terus bergumul dengan selimut, menutup tubuh polosnya bersama Rere. Tirai besar ujung kamarnya juga masih terlihat menghitam, membuktikan memang di luar sana hari masih gelap, udara masih dingin dan harusnya dia masih tidur.

Apasih ini orang gatau jam apa gimana nelfon segini pagi?

Rere sudah sepenuhnya bangun, mengerjap lalu mengacak rambutnya, niat si penelfon memang tidak separuh separuh saat mau menelfon, terbukti dengan benda itu yang terus berdering tak sabaran bergetar terus menerus seolah memang ingin segera di angkat lalu dimaki. Meski berhenti sesaat dia akan dengan senangnya kembali bergetar dan berbunyi nyaring. Merangkak melewati Devan yang masih pulas dalam tidurnya, Rere mengambil ponselnya . Sudah siap mengumpat saat melihat identitas penelfon, tapi ditahan karena sadar Devan masih anteng dalam tidurnya.

"Humm.." Jawabnya tak bersemangat. Mencoba menarik diri dari posisi dia yang kini diatas Devan, pria ini menggeliat saat merasa sesuatu hal berat menindihnya. Setelah aktivitas kemarin Rere belum sempat mengenakan apapun, jadi dia berusaha tetap membiarkan tubuhnya tertutup dengan selimut tapi dengan cara bergesekan dengan tubuh polos suaminya.

"Sayang nanti ngumpul yuk, kita ngopi bareng sama ayang ayang " Rere sudah mau mengumpat kesal, tapi sangat ditahan kuat.

Ia mencoba bangkit dari posisinya, membenahi diri yang memang tak pantas menindih Devan saat ini—mereka masih sama saling telanjang. Mungkin memang Devan sudah terganggu sejak telfon itu berdering, atau mungkin karena tindihannya, Devan meraih pinggangnya untuk kembali di gulingkan, memeluk dengan erat, kembali menghapus jarak pada tubuh mereka.

Jadi posisinya sekarang Devan memeluk dari belakang punggung telanjang Rere, menaruh wajahnya di tengkuk terbuka Rere. Membenamkan wajah, menghirup dalam kemudian .

Sekarang dia terperangkap dalam dekapan Devan. Dengan telfon yang masih terjaga di tangan kirinya.

Rere sedang tidak ingin merespon semua tindakan Devan, sedang orang dari balik ponsel masih menunggu jawaban Rere. Mencoba melepas lengan Devan yang tersampir memberontak pelan. Gerakan yang mampu membuat pemilik tangan terbangun. Mengerjap dengan separuh nyawa belum terkumpul.

"Re.. " Yang dibalik telfon kembali memanggil tak sabaran "Jadi gimana?"

"Jam berapa?" sosok Devan bergumam, suara seraknya langsung membuat Rere menjauhkan ponsel, ia bergerak sebentar untuk kembali mencari posisi ternyamannya.

"Re..?" belum sampai disana kini giliran Nion yang menyahut. Mendapati suara serak lelaki ikut menyahut panggilan. "Halo Re.. kok ada suara cowok sih?" Nion berdumel pada dirinya "Ini lo kan Re?" tanyanya masih tak sabaran.

Voice call nya langsung ia matikan, memejam erat lalu menggigit bibir bawahnya Rere bersuara. "Masih jam empat" setelah berhasil melepas diri, Rere memunguti bajunya, memakai dengan gerakan cepat meninggalkan kamar. Mengabaikan suara Nion yang terus memanggil dari balik ponsel.

"Gila lo ya nelfon gue jam segini?" Semprotnya kasar setelah berhasil menutup pintu, menyisahkan Devan sendiri di kamar. "Lo kalo nelfon lihat jam dong yon, ganggu orang aja"

Rere mendengar Nion tertawa pelan. "Ye sorry, baru selesai kerja gue" lelaki itu menerangkan.

Rere menuang air minum, menegaknya dengan cepat untuk bisa kembali memaki Nion. "Ngapain lo telfon? Ada kepentingan apa?" mengingat tadi memang telfonnya terus berdering tanpa sedikitpun ada usaha berhenti.

Mr ArsitekWhere stories live. Discover now