Special Part

942 78 2
                                    

Hujan deras mengguyur jalan raya yang kini menjadi saksi bisu dari iring-iringan mobil jenazah Revan menuju peristirahatan terakhirnya. Bunda, wanita paruh baya itu tak melepaskan pelukannya sedetikpun dari anak bungsunya yang sebentar lagi akan dimakamkan.

"Revan anak bunda, maafin bunda," ucapnya berulangkali. Rasa penyesalan seakan mampu membunuh batin wanita paruh baya itu.

Bukannya selama ini ia tak menyayangi Revan, rasa sayangnya pada Revan sama seperti pada Arfan. Namun batin wanita itu terguncang hebat saat harus melepaskan Arfan sehingga ia menolak fakta dengan menjadikan Revan pelampiasan.

"Segitu marahnya kamu sama bunda, nak? Sampai kamu nggak ngasih bunda kesempatan?" tanya bunda pada Revan yang tak mungkin mendapat jawaban.

Memori kenangan kebersamaan keluarga ini masih tergambar jelas, Revan yang selalu manja pada bundanya dan Arfan yang selalu memberi arahan untuk adiknya.

"Van, diluar lagi hujan, kamu nggak suka sama hujan, kan? Kita pulang aja ya, nak," isakan bunda seakan tak pernah berhenti. Wanita itu belum ikhlas melepas kepergian Revan. 

Ayah yang ada di samping bunda hanya diam membisu, kehilangan putra sulungnya sudah membuat hatinya hancur apalagi saat ini ia juga harus kehilangan putra bungsunya.

Mata ayah yang biasanya terlihat tegas kini hanya menampakkan kehampaan, pandangannya kosong seakan tak ada tujuan lagi bagi hidupnya. Ia tak lagi bisa menenangkan bunda karena dirinya sendiri pun belum sanggup menerima kenyataan.

Sedangkan Viona yang juga berada satu mobil dengan bunda dan ayah kini hanya bisa menatap nanar ke pujaan hatinya. Laki-laki yang tak sempat ia beri maaf, laki-laki yang belakangan menjadi sumber dari kekesalannya.

Batin Viona terus menjerit saat mengingat fakta bahwa Revan lah yang menyampaikan berita tentang Dikta pada Sherina. "Mimpi gue hari ini lama banget, Van," ucap Viona dengan mengusap air matanya.

Tak lama kemudian iring-iringan mobil itu sudah sampai di sebuah pemakaman. Hujan sudah reda namun masih menyisakan mendung yang menjadi wakil dari pikiran semua orang yang ada disini.

Audrey? Gadis itu limbung berulangkali karena belum siap menerima takdir. Hingga dengan terpaksa umi tidak bisa mengikuti pemakaman Revan karena harus menemani Audrey yang masih tak sadarkan diri.

Ansel, laki-laki yang biasanya terlihat bijaksana kini terlihat rapuh. Ia tak bisa mengucapakan sepatah kata apapun untuk sahabatnya yang dengan cepat menyusul abangnya itu. Bahkan kalimat perpisahan pun tak mampu ia ucapkan, karena jujur saja laki-laki itu juga masih belum rela melepas Revan.

"Makam Arfan belum kering," ucap Faris dengan menatap makam Arfan yang tepat di samping liang lahat yang disiapkan untuk Revan.

Gio menepuk pundak Faris, "gue udah usaha ikhlas, Gi. Tapi susah," imbuh Faris.

"Gue masih berharap kalau ini mimpi, Ris," sahut Vanda yang kini matanya sembab.

"Kalau aja kita nggak paksa Revan tanding," imbuh Bian yang membuat Ansel menatap kearahnya.

Ansel menghela napas berat, ia sadar bahwa saat ini tidak ada satu pun dari sahabatnya yang kuat menerima kenyataan, "Revan pasti sedih kalau denger lo ngomong gini, Yan,"

"Baik Pak, silahkan ayah dan beberapa kerabat turun ke liang lahat," ucap seorang kyai yang mulai melakukan proses pemakaman.

Ayah, Abi, dan Ansel pun turun. Jiwa ketiga laki-laki itu bergetar hebat saat akan meletakkan tubuh Revan ke tanah. Setelah itu Abi dan Ansel naik, lalu ayah melafalkan adzan yang terakhir kali untuk Revan.

Dengan terbata-bata ayah menyelesaikan adzannya, bayangan indah saat dirinya melafalkan adzan saat kelahiran si kembar kembali terngiang-ngiang dalam ingatannya, namun kini ayah harus melepas keduanya.

Sesuai melafalkan adzan, ayah menatap sejenak kain kafan yang menutup tubuh putranya, "ayah ikhlas, dek," ucapnya sebelum kembali ke permukaan tanah.

Liang lahat Revan pun mulai tertutup, "cerita gue sama Revan berakhir disini?" tanya Viona yang kini berada di pelukan Sherin.

Sherin ikut menangis dan semakin mengeratkan pelukannya, "Lo beruntung bisa jadi cinta pertama dan terakhir dari seorang laki-laki hebat seperti Revan,"

"KAK REV!" teriak Audrey yang kini berlari kearah makam Revan. Gadis itu mengencangkan langkahnya saat liang lahat Revan hampir tertutup sempurna oleh tanah.

"BERHENTI!" seru Audrey lagi yang membuat seluruh orang yang ada di pemakaman terkejut.

Ansel menghampiri Audrey dan membawa adiknya itu kedalam pelukannya. Namun Audrey berusaha melepaskan pelukan itu, "Kak Revan kenapa di kubur?!"

Audrey berhasil melepaskan pelukan Ansel, gadis itu kini menggali tanah yang sudah tertutup itu dengan tangannya hingga membuat baju putihnya berlumur tanah.

Semua orang yang ada di pemakaman sudah berusaha menenangkan Audrey bahkan Abi sudah berusaha mencegah Audrey namun gadis itu tetap bersikeras.
"Kak Revan masih hidup, Audrey tadi ngobrol sama Kak Revan,"

"Audrey istighfar, nak," ucap umi yang menyusul Audrey setelah mengetahui anak gadisnya siuman dari pingsan.

"Umi, kenapa nggak ada yang percaya sama Audrey?" raung audrey saat ia mulai kelelahan. Umi memeluk Audrey hingga air mata gadis itu tumpah di pelukan umi.

Audrey meraung dalam tangisnya, "Audrey udah hancur karena kehilangan Kak Arfan, gimana Audrey bisa tanpa kak Revan, Mi?" isakan Audrey semakin menjadi yang membuat semua ikut merasakan sakitnya perasaan gadis itu.

Bukan hanya memori indah yang ada dalam benak Audrey namun perasaan bersalah juga memenuhi relung hati gadis itu. Ia baru saja berdamai dengan kenyataan dan berhenti menyalahkan Revan atas apa yang menimpa Arfan. Tapi kini Tuhan juga mengambil Revan.

Ansel mendekati Audrey, laki-laki itu mengusap hijab Audrey, "Drey, lihat bunda, lihat Kak Viona, lihat semua mata orang-orang yang ada disini. Nggak ada satupun dari kita yang siap terima kenyataan, Drey,"

"Audrey nggak bisa, bang. Audrey salah, Audrey belum sempet ketawa sama kak Revan," jawab Audrey.

"Kamu bisa Drey. Abang juga masih berusaha ikhlas, tapi kita nggak punya pilihan lain, Drey. Jangan buat jalan Revan sulit dengan kamu seperti ini," ucapan Ansel membuat Audrey ingat bahwa tangisannya hanya akan menyulitkan Revan.

Dengan berat hati gadis itu mengangguk, "Abang bener," Audrey pun mengusap nisan bertuliskan Revan Fahreza. "Audrey belum ikhlas tapi Audrey akan berusaha ikhlas untuk dua prajurit kesayangan Audrey. Sekarang prajurit Audrey tinggal satu, tapi kalian harus janji, tungguin Audrey disana ya? Nanti kita main bareng lagi, Kalau Kak Revan ketemu sama Kak Arfan sampein salam Audrey,"

.
.
.

Huwaaaa... Udah gessss, ini buat yang kemarin request pemakaman.

Btw, jangan lupa mampir di cerita baruku yaa.. judulnya memori Ravindra ✨

Aku Bukan Abang COMPLETE✅Where stories live. Discover now