BAB 32: Surat dan Sinclaire

213 26 11
                                    

Ada hari-hari ketika aku tidak bisa lagi keluar dari kamarku, dalam kesakitan yang rumit, kota-kota besar yang kukenal telah berlari keluar, dan masa para penyairku tercerai berai. Aku tak henti-hentinya mengirim surat pada Herrz Muller. Ia telah pergi ke Berlin minggu lalu dan tak ada satu surat yang kembali.

Di malam hari, aku akan menulis surat lagi, membuangnya, dan menulis sesuatu seperti cara orang romantik yang terobsesi pada soneta, kenangan tentang perkumpulan masyarakat—yang mencintai literatur—di perguruan tinggi, dan menyebut tulisan sebagai kebebasan absolut. Mereka telah mati di parit perang dunia dan semua sia-sia.

Ketika aku tahu betapa akan sia-sianya surat-surat itu, aku akan pulang melewati jalan di ujung pos-pos, menghabiskan selamanya dalam perjalan soliter. Melewati ladang hingga ke rumah, aku akan duduk di depan hingga sore, tersihir hingga waras, dan melihat merpati mondar-mandir kehilangan tuannya. Layaknya pemusik jalanan yang kehilangan kertas-kertas partitur.

Tidak ada makaroni, tidak ada percakapan dramatis yang sembrono, tidak dengan cara Shakespeare menyair. Bahkan rumahku telah menjadi usang, sedikit bernilai oleh keakraban orang-orangnya. Seolah penghuni di sini tinggal untuk tewas oleh pikiran mereka sendiri ketimbang penjahat.

Menit dan menit ketika aku tidak melakukan tindakan, hingga si tuan rumah keluar dari pintu di belakangku. Memangilku dengan rasa keseriusan dan menempatkan kesadaran, bahwa putranya tidak sedang di luar sana melakukan hal sia-sia, melainkan hanya duduk di depan rumah seperti orang gila. Ia lalu berkata, "Siapa di sana?"

"Apakah pernah ada orang lain, ayah?"

Ia mengangguk dan tertawa. Itu adalah batas gurauannya, seperti omong kosong atau teka-teki puitis yang kebetulan menarik. Meski sebagian dari kalimatnya seperti mencuri dari skenario lakon paling tidak serius yang baru ia baca kemarin malam. Ayah lalu menghampiriku dan duduk di salah satu anak tangga.

Kami diam dan berbicara. Sepatu kami berbahasa dengan tanah. Membicarakan pemahat kayu dan tukang roti yang anaknya ingin jadi seniman. Oh, biasanya pagar dan cerita tidak pernah membuat ayah tertarik. Tidak sampai suara mesin ketiknya mulai terdengar seperti orkestra milik Bach dan putranya harus mengeluh.

"Itu surat-surat yang tidak terkirim?" Ayah menunjuk sesuatu di tanganku.

"Ya," kataku, sederhana. "Bukankah kebanyakan surat tidak pernah terkirim? Mereka seperti puisi yang dikirim bajak laut yang mati tenggelam."

"Ya, tapi bajak laut tidak menulis puisi, mereka membuat peta, menyanyikan lagu-lagu dan berharap itu membawa mereka ke suatu tempat."

"Oh, tentu aku kenal bajak laut yang menulis puisi." Aku mengutarakannya, hampir seperti menuduh. Itu menempatkan keinginan untuk kembali membuka surat-suratku. Untuk berbicara dan menulis ulang mereka, hingga aku mati.

"Aku pergi ke makam ibu beberapa hari lalu," kataku, tepat sebelum itu terpotong oleh deringan kasar telepon dari rumah. Ayah menaruh tangannya di antara kedua mata, dan napasnya melenguh. Oh, ia benar-benar dapat memiliki seluruh panggung opera bersama mesin ketik dan telepon kabelnya mulai sekarang.

"Jika itu telepon dari kantor percetakan, aku bersumpah kita akan makan siang di luar hari ini."

"Schotel di tempat Herr Wehrmann."

"Sepakat," ungkapnya sebelum berlari ke dalam.

Dan aku lalu mendengar suara ayah di dalam. Memohon seseorang dari telepon untuk memberinya waktu. Dia mengatakan bahwa ia pantas mendapatkan libur makan siang yang panjang minggu ini. Aku agak tertawa. Seolah makan siang adalah daftar terakhir kami hari ini, dan ia tidak akan mendapatkannya lagi di tumpukan kertas.

Aku menghela napas. Mungkin tidak akan pernah ada hari untuk memberitahunya, pikirku. Sehingga semua orang percaya bahwa cerita masih akan berakhir indah. Oh, tidak penting kapan akan mati, tidak penting bahwa Raja Lear mati karena penghianatan atau ego anaknya. Satu hal yang kutahu, ibuku juga tidak memiliki satu hari untuk memberi tahu siapapun. Jadi, akan impas untukku.

Dan ketika tiba untukku menemukan kembali ketenangan. Di antara pagar-pagar kayu berlumut rumahku, dan kaki orang-orang yang lewat, ada sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang hanya ada di dalam puisi. Gosip pendongeng. Aku duduk di sini seperti menunggu mereka untuk diceritakan ulang.

Siang itu terasa seperti jurnal panjang dari catatan milik Tolkien. Aku mengetuk-ngetuk kakiku di tanah dan rasa menyengat merangkak keluar dari kaki kiriku. Aku melipat ujung celana dan luka dari jembatan kala itu tak lebih baik dari kemarin. Meninggalkan bekas luka panjang di betis. Merekah seperti kulit apel yang membusuk.

Kemudian seseorang menepuk pundakku, erat dan dingin, membuatku hampir lupa bagaimana rasanya merenguk seluruh dunia; melewati anak tangga dengan kepalamu dan terlempar ke sungai. Aku menepis kasar tangannya. Ia kehilangan perasaan seperti manusia, sehingga apapun tidak akan menyakiti hatinya. Apapun, kecuali kematian.

"Sinclaire," tapi itu yang kukatakan ketika mata hijaunya terbelalak, dengan tangan kanannya membatu di udara. Seperti batu pahatan. Ia tidak ingin bergerak atau berbicara. Spontan aku menjulurkan tangan padanya. Namun, Sinclaire spontan mundur.

Ia melihat telapaknya dengan takut, seolah aku meninggalkan bekas menjijikan di sana—sesuatu yang akan memengaruhi keabadian dan merubahnya menjadi wanita tua esok pagi. Tidak. Tapi Ia lanjut melihatku dengan layak, seperti penghormatan untuk penyair yang duduk di kegelapan dan selamanya tiada.

Sebuah kepiluan, ada hasrat untuk tidak peduli, seperti menyapa para filsuf terkutuk. Namun, tiba-tiba air mata ada di bawah matanya. Tidak sampai jatuh. Aku terdiam karena kebingungan.

"Hei, kau kenapa?"

Noah di akhir chapter:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Noah di akhir chapter:

Noah di akhir chapter:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kurang lebih gitu

SinclaireWhere stories live. Discover now