Diamnya aku.

103 22 8
                                    

Diamnya aku beberapa hari ternyata di perhatikan Zarine. Hari itu saat sarapan putriku ini bertanya padaku.

"Apakah Mama dan Papa bertengkar?"

Aku kaget dan begitupun dengan mas Adwin yang langsung menatap ke arahku. Aku hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan pada Zarine.

Tersenyum pada putriku seraya menggelengkan kepala, tapi tampaknya Zarine tidak puas dengan jawabanku.

Zarine pun menatap mas Adwin, meminta jawaban padanya. Dan dengan begitu entengnya mas Adwin menggelengkan kepala juga.

"Sayang, Mama dan Papa baik-baik saja. Iya kan Ma?" aku terpaksa mengangguk demi Zarine.

"Sudah selesai sarapannya nak?" tanyaku ingin segera mengakhiri situasi tak enak ini.

Syukurnya Zarine mengangguk dan aku pun lekas bersiap-siap untuk mengantarkan putriku.

Tapi, mas Adwin mencegah kami. "Biar Papa yang antar kamu ya hari ini."

"Asyik!" seruan Zarine tampak gembira. Aku pun tak bisa mencegahnya dan membiarkan pria berengsek ini yang mengantar Zarine.

Sialnya pria berengsek ini suamiku dan papa dari anakku.

"Aku dan Zarine berangkat ya." ucap mas Adwin seraya mengulurkan tangan kanannya padaku.

Aku tak langsung menyambutnya, merasa tak sudi menyentuh tangan yang kemarin menyentuh mesra tubuh wanita lain di depan mataku.

Tapi disini ada Zarine, pasti dia merasa aneh kalau aku tidak menyambut tangan papanya.

Lagi dan lagi aku terpaksa melakukan hal seperti biasa di depan Zarine. Aku menghindar saat mas Adwin hendak mencium dahi ku seperti biasa. Namun semenjak aku mengetahui penghianatannya aku gak mau disentuh olehnya.

"Hati-hati ya nak sekolahnya, i love you." ucapku seraya memeluk dan mencium putriku.

Aku melambaikan tangan pada Zarine dan segera memalingkan wajah saat mas Adwin melihat padaku.

Aku segera masuk ke dalam rumah setelah mobil mas Adwin menjauh. Berdiam diri seperti orang bego sendirian di rumah begini.

Semenjak hari itu aku merasa kehilangan semangat hidupku. Aku tau duniaku sudah hancur sejak hari itu. Tapi aku berusaha untuk tak terpuruk karena aku masih memiliki Zarine.

Sekarang dialah alasanku yang memilih untuk bertahan. Dialah alasanku untuk harus semangat menjalani hidup ini.

Kalau bukan karena Zarine maka aku tak sudi dan gak mau bertahan. Untuk apa bertahan dengan pria berengsek seperti mas Adwin? Hah! Untuk apa?

Tapi lagi dan lagi alasanku karena Zarine, anakku.

Sudahlah, sebaiknya sekarang aku melakukan rutinitasku seperti biasa. Mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Ya, sendiri karena aku memang suka melakukannya.

Sebenarnya bisa aja sih kami memperkerjakan seorang pelayan di rumah ini. Tapi aku memutuskan untuk melakukannya sendiri, soalnya kalau pakai pelayan yang ada nanti aku jadi manja.

Lagian aku juga cuma di rumah aja, mengurus suami dan anak. Kalau dulu mungkin iya mengurus suami dan anak, tapi kalau sekarang tidak. Aku hanya akan mengurus putriku saja.

Sebelum menikah sebenarnya aku bekerja, aku seorang wanita karir. Tapi pria berengsek itu yang memintaku untuk berhenti bekerja dan tetap di rumah. Mengenai kerja biar menjadi urusannya sebagai seorang pria.

Aku mau dan menurut saja permintaannya waktu itu. Aku gak akan menyesalinya, sebab aku memiliki banyak waktu untuk Zarine. Dari saat mengandung, melahirkan dan mengurusnya hingga sampai sekarang ini. Sekarang dia sudah delapan tahun, waktu berlalu begitu cepat ternyata.

Rasanya seperti baru kemarin aku merasakan menikah. Untuk sejenak aku melupakan penghianatan mas Adwin dan wanita itu. Aku justru teringat momen-momen manis ku dengan mas Adwin dulu.

Aku memang merasa hancur karena penghianatan mas Adwin, tapi aku tidak mau merasa menyesal telah menikah dengannya. Karena kalau aku bilang menyesal itu artinya aku juga menyesal akan kehadiran Zarine dalam hidup kami.

Tidak, aku bahagia memiliki putri seperti Zarine. Oh, putriku sayang. Maafkanlah mama yang terpaksa terus berbohong padamu. Tapi percayalah nak, ini semua demi kamu. Kelak kamu akan mengerti kenapa mama memilih berbohong dan bertahan akan hubungan pernikahan yang telah hancur ini.

***

Fokus ku hanya pada Zarine saat makan malam bersama, sedetikpun aku tak mengalihkan perhatianku darinya. Sementara mas Adwin aku tak mempedulikannya sama sekali.

Aku jahat? Ya, aku jadi jahat semenjak penghianatan itu.

Ah, sial! Aku mengingatnya lagi. Nafsu makanku langsung hilang saat mengingat momen menjijikkan itu.

"Mama kenapa?" Zarine menatapku dengan ekspresi bingung.

Aku tersenyum seraya menggeleng, "Mama udah kenyang sayang."

"Tapi makanan Mama belum habis." ujar Zarine.

Memang benar kalau makananku belum habis, bahkan masih banyak karena aku baru makan beberapa sendok.

Ku lirik sebentar mas Adwin yang hanya diam. Tampaknya ia bingung ingin mengatakan apa, sebab setiap ucapan yang keluar dari mulutnya tak pernah ku gubris sama sekali.

Selesai makan malam bersama sekarang aku menemani Zarine mengerjakan pr.

Setelah pr sudah selesai aku pun membacakan sebuah cerita dongeng untuk Zarine. Sampai sekarang pun dia masih suka jika aku bacakan dongeng sebelum tidur. Sudah menjadi kebiasaan yang disukainya.

Baru sebentar baca Zarine sudah tertidur. Sepertinya dia sangat lelah dan mengantuk sekali.

Aku juga ikut naik ke atas ranjangnya, memilih untuk terus tidur berdua dengannya sejak hari itu.

Aku pura-pura memejamkan mata saat mendengar langkah kaki mendekat dan masuk ke dalam kamar Zarine.

Tau pasti siapa yang masuk, tentu saja itu mas Adwin. Siapa lagi? Kan, kami di rumah cuma bertiga.

Derap langkah kakinya ku dengar mendekat ke arahku. Sialan! Mau apa dia? batinku was-was.

Aku merasakan tangannya menyentuh tanganku. Astaga! Mau apa sih dia?

Tidak, aku gak boleh terpancing. Aku memilih untuk tetap bertahan pura-pura tertidur.

"Aku tau kalau aku sudah berbuat salah. Aku sadar kalau diriku ini memang berengsek. Tapi, aku tidak bisa membohongi diri dan hatiku. Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama."

Sial! Untuk apa mas Adwin bicara begini? Sengaja ingin membuat hatiku tambah hancur.

Tahan Ranti, tahan. batinku berusaha kuat. Padahal airmata ingin keluar lagi.

"Dia sama seperti kamu, dia wanita kedua yang berhasil membuatku jatuh cinta setelah kamu sayang."

Sh*t! Setelah memuji selingkuhannya kemudian dia memanggilku dengan sebutan sayang. Bahkan teganya dia sama-samain aku dengan wanita lain. Memang baj***an kamu Adwin!

"Maafkan aku Ranti, maafkan aku yang sudah merusak hubungan pernikahan kita."

Aku merasa jijik saat mas Adwin mengecup punggung tanganku yang disentuhnya.

Aku segera membuka kedua mataku setelah mas Adwin pergi dari kamar Zarine.

Sakit, hatiku sungguh sakit mendengar pengakuan mas Adwin tadi.

Resti, apa yang sudah kamu lakukan sehingga berhasil membuat mas Adwin jatuh cinta padamu?

Kenapa kamu begitu tega Resti? Padahal selama ini kamu udah aku anggap seperti temanku sendiri. Bahkan kamu juga sangat dekat dengan putriku yang menyukai dan menyayangimu.

Tapi, kenapa kamu mau menjadi wanita kedua dalam hubungan rumah tangga kami? Kenapa kamu mau menjadi pelakor yang begitu kejam merebut suamiku? Hah! Kenapa Resti?

Hiks....

***

Baca bab ini sambil dengerin lagu diatas 😥 menurutku pas. Setuju gak?

💔

Dia (wanita kedua) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang