Bertemu lagi.

144 15 3
                                    

Keesokan harinya saat mengantarkan Zarine ke sekolah aku bertemu lagi dengan pak Zacky.

Ia yang juga baru datang menyapaku ramah, aku pun balas menyapanya dengan ramah juga.

"Pak, sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih pada anda." ucapku.

"Sama-sama Nyonya." ujarnya singkat.

"Jangan panggil saya Nyonya Pak. Panggil saja saya dengan sebutan yang lain."

"Bagaimana kalau Ibu?"

"Boleh Pak." aku mengangguk dan tersenyum.

"Yaudah kalau gitu Bu, saya permisi." aku kembali mengangguk.

Aku pun segera kembali pulang ke rumah, tapi sesampainya di rumah aku merasa seperti ada yang berbeda.

Mobil mas Adwin masih masih disini. Apa dia belum pergi bekerja? batinku bertanya-tanya.

Saat masuk ke dalam rumah aku tak menemukannya di manapun. Hanya tinggal satu tempat yang belum ku periksa, yaitu kamar kami yang sekarang telah aku relakan untuk mas Adwin sendiri.

Haruskah aku masuk ke kamarnya? Karena jujur aku merasa sangat penasaran.

Meskipun hatiku telah hancur dibuatnya, tetap saja sisi gak tegaanku tidak bisa hilang.

Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar itu. Membuka pintunya yang tidak terkunci dengan sangat perlahan.

Terlihat mas Adwin yang masih tidur, langkah kaki perlahan mendekatinya. Menyentuh dahinya yang terasa panas. Astaga! Pria berengsek ini demam.

Buru-buru aku ingin mengambil air untuk mengompres dahi mas Adwin. Tapi mas Adwin justru mencekal tanganku.

"Maafkan aku, dan aku mohon jangan tinggalin aku Ran." ucap mas Adwin dengan lirih.

Aku tak meresponnya dan segera melepaskan tangannya. "Kamu lagi demam Mas. Tunggu sebentar ya."

Setelah mengambil air dan kompresan aku segera kembali ke kamar. Langsung saja aku segera mengompres dahi mas Adwin yang fokus matanya terus menatapku.

"Sebenarnya dari tadi malam badanku mulai ngerasa gak enak. Aku ingin mengatakannya sama kamu, tapi kamu yang sekarang udah gak peduli lagi padaku."

"Jangan menyalahkan aku, siapa yang udah buat aku jadi berubah seperti ini Mas? Jawabannya adalah kamu sendiri yang udah membuat aku berubah." ucapku dengan amarah yang memuncak.

Bisa-bisanya mas Adwin bicara seolah menyalahkan diriku.

"Kita berdua tidak bisa kembali seperti sedia kala. Pernikahan kita sudah hancur sejak hari dimana aku mengetahui penghianatan kamu dengan Resti."

"Aku masih sayang sama kamu Ranti."

"Tapi kamu mencintai Resti." aku tersenyum miris mendengarnya. "Serakah banget ya kamu Mas, kamu ingin memiliki kami berdua."

Aku menggeleng, "aku gak sudi ada diantara kalian berdua. Jadi aku mohon jangan pernah libatkan aku dalam urusan kalian berdua."

"Aku akan meninggalkan Resti, asalkan hubungan kita bisa kembali seperti sedia kala."

Aku terkejut mendengarnya, menatap tak percaya pada mas Adwin. Kenapa dia tiba-tiba bicara begitu?

"Aku akan putuskan hubungan kami dan meninggalkannya asalkan kita bisa kembali seperti dulu. Saling sayang, saling cinta, harmonis, dan bahagia."

"Perlu Mas tau, hatiku sekarang ini seperti serpihan sebuah kaca yang pecah. Tidak bisa disatukan kembali, kalaupun dipaksa menjadi sebuah kaca kembali yang ada justru hanya semakin melukai."

"Terima kasih untuk tawaran Mas itu, tapi jelas aku akan menolaknya. Kepercayaan yang selama ini aku kasih sudah Mas rusak. Sekali penghianatan yang Mas lakukan ini telah merusak semuanya. Merusak kepercayaanku, merusak cintaku dan juga merusak pernikahan kita." sambungku yang tak ingin berlama-lama disini.

Aku berdiri di depan pintu kamar yang tertutup, kembali menangis saat merasakan sakit itu. Ya Tuhan!

***

Zarine terlihat sedih saat tau papanya lagi sakit, dengan sayang dia menemani papanya yang masih tidur.

Di sentuhnya kompresan di dahi mas Adwin, panasnya udah gak terlalu seperti tadi.

"Sayang, makan siang dulu yuk." ajak ku pada Zarine yang menggeleng dan bilang kalau dia masih ingin disini menemani papanya.

Aku pun tak memaksa dan menuruti keinginannya, tapi tidak akan lama. Sebab Zarine tetap harus makan siang, aku juga akan menyiapkan makan siang untuk mas Adwin nanti kalau udah bangun.

Niatnya sih gitu, tapi kok Zarine malah ikut tertidur. Ya ampun, ini anak malah ketiduran.

Aku pun menggendong tubuh Zarine dan membawa ke kamarnya. Ku kecup dahinya sebentar sebelum keluar.

Kembali masuk ke dalam kamar untuk mengecek keadaan mas Adwin yang ternyata sudah bangun.

"Sudah hubungi Resti?" tukas ku bertanya.

Ekspresi wajah mas Adwin terlihat bingung, "ngapain hubungi Resti?" ia bertanya balik dengan polosnya.

"Kenapa pakai tanya lagi? Ya jelas saja untuk mengurusi Mas Adwin lah."

"Mengurusku?"

"Iya, kan Mas Adwin lagi sakit. Dan aku gak mau merasa di repotin lah. Masa iya pas sehat dan enak-enaknya sama Resti, sementara pas sakit sama aku." sindir ku begitu pedasnya. Upps! Maaf mas.

"Maksud ucapan kamu barusan ini kamu gak ikhlas ngerawat aku yang lagi sakit gitu?"

Aku menghela nafas sabar, "bukannya gak ikhlas. Tapi aku berusaha untuk mencoba menyadarkan Mas Adwin saja."

"Kamu bukan berusaha menyadarkan, tapi kamu terus-terusan mengungkit kesalahan aku."

"Loh, emang kenapa? Salah kalau aku mengingatkan tentang penghianatan yang Mas lakukan?"

"Cukup Ranti, cukup! Kalau kamu memang gak mau dan gak ikhlas merawat aku yang lagi sakit yaudah gak apa-apa."

"Oke." aku mengangguk. "Tolong segera Mas hubungi Resti ya."

"Aku tidak akan menghubunginya, karena aku masih bisa merawat dan menjaga diriku sendiri."

"Terserah." tukas ku hendak beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah aku berhenti saat mendengar ucapan Mas Adwin.

"Kamu bilang akan bertahan demi Zarine, tapi kamu sendiri yang malah ingin memulai permasalah. Zarine akan bingung dan bertanya-tanya, kenapa malah Tante Resti yang mengurusi Papannya. Kenapa bukan Mamanya?" mas Adwin menatap kesal aku.

"Benar itu yang kamu mau Ran?"

Aku terdiam, mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut mas Adwin.

Merasa terpojok dengan ucapannya barusan, kalau sudah mengenai Zarine maka aku tidak bisa berkutik.

"Aku kaget loh, ternyata Mas peduli pada Zarine." ucapku mengejeknya.

"Jelas saja aku peduli, Zarine adalah anakku."

"Tidak, Zarine adalah anakku."

"Anak kita berdua Ranti."

Aku mengangguk meskipun berat menerima fakta ini. Kenapa papa anakku adalah Adwin Erlangga?

"Baik, aku mengalah. Aku akan mengurusmu, tapi hanya saat kamu sakit. Dan aku mohon kamu jangan salah paham maupun baper."

"Tidak ada larangan untuk baper sama istri sendiri."

"Ya memang tidak ada, tapi untukku berbeda. Aku akan bertahan sampai Zarine dewasa, saat dia dewasa kelak dia akan mengerti dengan hubungan pernikahan orang tuanya yang tidak baik." aku melangkah keluar dari kamar ini setelah puas mengatakan apa yang ingin aku katakan.

Aku putuskan untuk merawat mas Adwin selama sakit. Ingat! Hanya selama mas Adwin sakit saja.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dia (wanita kedua) Where stories live. Discover now