chapter 5

310 73 6
                                    

“Eh, gue udah cerita belum sih kalo gue sekelas sama cowok yang bantuin gue di lift?” tanya Sela sembari mengaduk sup jagungnya.

Saat ini hujan turun sangat deras, sehingga longue dipenuh dengan mahasiswa yang berkelompok menikmati makanan hangat. Dua sahabat, Erlan dan Sela juga ikut meramaikan ruangan tersebut.

Erlan hanya mengangkat kepalanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, bermaksud menyampaikan kata ‘belum’ tanpa harus membuka mulutnya. Ribet banget, lagi sibuk mengunyah burgernya juga.

Tersungging senyuman lebar pada paras Sela. “Namanya Mike, anak jurusan film satu angkatan sama kita. Ternyata kami sekelas di digital desain, bisa kebetulan banget gak sih?” cerita Sela heboh. Namun, ia tetap menjaga volume suaranya karena tak ingin mengganggu yang lain.

Kepala Erlan hanya mengangguk-angguk saja. “Terus?”

“Gue udah beberapa kali ngobrol sama dia dan bahkan selalu duduk sebelahan tiap kelas desain digital. Anaknya asik juga, mana wangi- sumpah wangi banget. Wangi yang gak lebay gitu, gentle dan seger. Mana tiap kali dia gerak, aromanya tercium pula,” jawab Sela.

Saat ini jujur saja Erlan tidak tahu harus merespon bagaimana. Lelaki itu memang tidak pandai mengembangkan pembicaraan, sehingga sering dikira sebagai perangai yang dingin dan convokiller istilahnya.

“Oh ya, dia juga kacamataan kalo pas kuliah sama kaya lo. Tapi bedanya, dia inget pake kacamata, gak kaya lo yang lupa terus bingung sendiri pas mau garap gak kelihatan jelas,” sindir Sela.

“Ya namanya juga lupa,” keluh Erlan.

“Mending lo beli dua kacamata deh, atau kacamata lo yang lama dibenerin biar ada cadangan. Jadi satu ditinggal di tas, satunya di asrama. Gue udah berapa kali nyaranin ini tapi gak pernah lo dengerin.”

Erlan mengangkat bahunya. “Iya entar, gue pikirin lagi.”

Gadis itu menghela napasnya menatap sang kawan. “Selalu jawaban yang sama dari setahun lalu. Terserah lo sih sebenernya, tapi lo suka nyusahin gue soalnya kalo gak bawa kacamata.”

“Belum juga lo minta tolo-”

“Nanananana ga dengerrrr.” Sela memotong ucapan Erlan, membuat beberapa orang yang duduk disekitarnya menoleh sejenak ke arah mereka. Mau tidak mau dua orang yang menjadi pusat perhatian itu hanya nyengir meminta maaf.

Sela menghabiskan sup jagungnya, kemudian memasukkan wadah yang telah kosong ke dalam kantong semula untuk dibuang.

“Lo ada yang mau diomongin lagi gak? Gue mau keatas nih nugas, lo juga nugas,” ujar Sela. Gadis itu berinisiatif membuang sampah wadah makanan mereka karena Erlan sudah mengambilkan pesanan sampai kehujanan sedikit.

Diatas meja mereka sekarang sudah bersih, hanya tersisa satu gelas berisi kola milik Sela yang masih cukup tersisa banyak. Gadis itu berdiri di pinggiran meja, hendak pergi kalau Erlan tidak tiba-tiba menahan tangannya. “Ada, lo duduk dulu,” pinta Erlan.

Tanpa berpikir lama atau berbasa-basi, Sela kembali duduk di kursinya menghadap ke Erlan. Mereka saling menatap satu sama lain dengan tubuh Erlan yang mencondong ke arahnya.

“Lo jangan heboh,” peringat Erlan.

Si gadis mulai penasaran. “Apaan sih?”

“Sabtu besok gue ikutan blind date-” belum selesai Erlan menjelaskan, namun Sela sudah memundurkan tubuhnya dengan wajah syok yang berlebihan.

Mulutnya menganga dengan mata yang membelalak. Benar-benar tidak ada malunya di hadapan sang kawan. Toh, mereka sudah pernah melihat kondisi terburuk satu sama lain.

Between ThemDonde viven las historias. Descúbrelo ahora