Mangga Muda Petaka

0 0 0
                                    

Kata orang kalau istri hamil, mintanya yang aneh-aneh dan harus dituruti, kalau tidak akan mempengaruhi psikis ibu dan calon bayi. Ini benar atau sekedar mitos?
“Bang, aku menginginkan mangga muda, tetapi aku maunya hanya mangga yang di depan rumah itu,” Kata Naswa sambil menujuk pohon mangga yang ada di depan rumahnya itu.
Tsaqib langsung memuntahkan kopi hangat yang telah diminumnya,
“Apa? Dinda meminta abang memanjat pohon tua itu? Jangan terlalu aneh gitu,” ucap Tsaqib kaget.
Mendengar penolakan suaminya itu, Naswa langsung berubah rawut wajah yang semula penuh pengharapan menjadi wajah penuh penyesalan. Dia berlari ke kamar sambil mengelus-elus perutnya yang  sebenarnya belum terlalu menonjol.
“Tunggu! Dengarkan dulu penjelasan, abang.” Tsaqib berusaha menjelaskan.  Namun Naswa yang masuk kamar sambil membanting pintu membuat Tsaqib merasa tak dihargai.
"Sudahlah." Gerutuhnya.
Tsaqib pun pergi meninggalkan rumah untuk menetralkan emosi yang mulai menanjak.
“Baru beberapa bulan berumah tangga, sudah tampak bibit perpecahan, mau di bawa kemana bahtera kapal kecil ini, belum pun ada penumpang, kok kapal mau oleng.” Kecamuknya dalam hati sambil menuju warung kopi Kak Siti. Disana, dia bertemu dengan temannya yang biasa ngumpul. Temannya rata-rata belum menikah.
“Tsaqib? Kok irisan di mukamu tambah banyak saja, baru saja menikah beberapa bulan.” Ucap Indra sedikit lancang. Tsaqib pun menceritakan apa yang baru saja dia alami dengan istrinya. Teman-temannya pun menyarankan untuk tidak memanjat pohon itu dan meminta Tsaqib mencari mangga muda lain saja. Temannya percaya bahwa pohon mangga itu angker dan ada penunggunya. Temanya bukannya mendamaikan hati Tsaqib, tetapi ucapan Indra yang menyebut sebagai seorang laki-laki itu tak boleh lemah di hadapan istri. Sekali saja kita bisa diperintah, akan sulit mempertahankan harga diri sebagai kepala keluarga. Tsaqib seolah membenarkan ucapan temannya. Dia bersegera mencari mangga muda untuk dibawa ke rumah.
Sementara Naswa yang mengurung diri di kamar, merasa suaminya yang tak peduli sama sekali, sambil memegang perutnya berucap,
“Wahai anakku, apa yang kamu inginkan sepertinya sulit akan terwujud, sekarang kita tidur saja ya." Ucapnya sambil menarik selimutnya dan merebahkan tubuhnya.
"Dinda, ini Abang sudah petik mangga muda, pasti kamu mau," ucap seorang lelaki yang dia kenal."
Betapa gembiranya hati Naswa, dia langsung menghabiskan mangga muda yang sudah dikupas lelaki itu.
"Terima kasih, Bang. Tadinya dinda mengira bahwa Abang sudah tak peduli." Ucap Naswa sambil menarik tangan lelaki itu ke hadapannya.
Tak lama kemudian, Tsaqib pulang ke rumah membawa mangga muda. Dia melihat istrinya yang tidur pulas, serasa tak tega dia membangunkan. Mangga muda itu dia letakkan diatas meja makan dan kembali kamar untuk istirahat.
Tengah malam, Naswa terbangun. Perutnya terasa mules dan bergegas ke kamar mandi.
Dia melihat ada mangga muda diatas meja, tetapi mangga itu tak menarik perhatiannya bahkan mangga muda itu dia buang ke tong sampah.
Naswa kembali tidur.
Keesokan harinya, suaminya melihat mangga muda yang dia bawa dibuang ke tong sampah.
"Benar-benar tak bisa menghargai orang lain. Kok bisa aku menikah dengan wanita seperti ini?"
Tsaqib bergegas mandi dan segera cepat sampai ke kantor karena merasa sumpek di rumah sendiri.
Naswa sudah menyediakan kopi hangat dan nasi goreng kesukaan suaminya.
"Bang, jangan lupa sarapan dulu, itu sudah tersedia diatas meja."
Tsaqib tak bergemimg sedikitpun dan justru meninggalkan istrinya tanpa pamit.
Naswa kaget dengan drama yang disuguhkan suaminya.
"Waduh, apa lagi ini. Beginikah sikap asli suamiku? Baru saja kami menikah, kok semakin kesana semakin tak peduli." Jerit batin Naswa.
Tsaqib yang sampai di meja kerja terlalu pagi ini tak hentinya merenung, mengapa istrinya tega membuang mangga yang dengan susah payah dia dapatkan.
Tsaqib menyeduh kopi  durian yang dibelinya melalui perantara Azka.
"Ternyata merubah tangga itu tak semanis yang dibayangkan atau diceritakan orang. Baru saja melangkah, sudah banyak hal-hal yang tak diinginkan terjadi." Keluh kesahnya salam kesendirian.
Sementara kawan sekantornya, melihat ada tatapan kosong di mata Tsaqib dan merasa tak tega untuk membiarkan dia dalam keputusasaan.
"Tsaqib, kalau kamu kurang sehat, istirahat saja di rumah, bisa izin."
"Justru saya ingin pergi ke kantor lebih pagi dan pulang lebih sore. Saat ini saya butuh ketenangan dan ingin sendiri.
Hal yang sama dirasakan oleh Naswa.
"Apakah saya sudah menyinggung perasaan suami? Tapi apa? Ataukah saya harus bertanya?" Naswa merasa ingin memperbincangkan banyak hal.
Beberapa bulan selanjutnya hubungan mereka semakin kering, ibarat bunga yang layu, daunnya mulai berguguran satu persatu. Sementara perut Naswa semakin membesar dan menunggu kelahiran.
"Bang, kalau Dinda banyak salah mohon dimaafkan, andai nanti aku meninggal dunia, tolong anak kita jangan serahkan ke orang lain."
"Ya, Dinda, insyaallah urusan kita akan dimudahkan."  Ucap Tsaqib mendadak bijak.
Tsaqib mencoba mendekati istrinya, walau teka-teki diantara mereka belum juga usai.
"Ya Allah, sudah lama sekali rambut ini tak dibelai oleh suamiku, Al-hamdulillah, hari ini dia mulai mengusap kepalaku. Bahagia rasanya." Ucap Naswa dalam hati.
"Ya Allah, istriku memegang erat jemari ku, apakah ini pertanda dia sudah sadar dan ingin membuka diri dengan ku?" Bincang batin Tsaqib sambil menunggu kelahiran.
Naswa dibawa ke ruang operasi, anak yang dikandungnya terlalu besar dan harus menjalani tindakan operasi.
Beberapa jam kemudian, penantian Tsaqib pun tiba, terdengar tangisan bayi sangat kencang. Dokter bersalin menyampaikan ucapan selamat,
"Selamat, Bapak sudah menjadi ayah, anak bapak laki-laki."
Tsaqib melonjak kegirangan dan sudah tak sabar lagi untuk menggendong putra tersayangnya pelanjut garis keturunannya.
Dia pun menghubungi keluarga dan temannya bahwa istrinya melahirkan anak laki-laki.
Tak lama kemudian, datanglah suster rumah sakit meminta agar anak tersebut diazankan.
"Bapak. Silahkan anaknya diazankan."
Betapa terperanjatnya Tsaqib tatkala menggendong bayi itu,
"Tidak... Ini bukan putraku suster pasti salah" sambil mengembalikan bayi itu kepada suster. Dan dia berlari keluar rumah sakit.
"Tidak! Itu bukan anakku. Itu anak setan." Ucapnya lantang seperti orang yang sedang kesurupan.
Seorang pengunjung rumah sakit yang berjubah dengan jenggot tebal berkata kepada suster itu,
Maaf, Sus. Aku lihat bayi itu belum diazankan. Bolehkah aku menggendongnya untuk mengazankannya?" Pinta lelaki itu.
Suster pun memberikan anak itu kepada lelaki berjubah tersebut.
Dia pun mengazankan membacakan ayat Allah di ubun-ubunnya. Bayi itu merasa tenang dengan lelaki berjubah itu.
Kemudian dia kembalikan kepada suster itu dan dia menghilang entah kemana.
Naswa yang melihat anaknya buruk rupa, tak bisa mengeluh. Dia hanya pasrah dengan takdirnya. Dia bertekad akan membesarkan putranya dengan kasih sayang walaupun kelak suaminya tak mengakui bahwa itu adalah darah dagingnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menunggu PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang