9. Derit

44 24 1
                                    

Aku berdiri di depan pintu kantor guru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berdiri di depan pintu kantor guru. Derai tawa Pak Pram dan Pak Danis terdengar jelas. Kaca nako saja, sampai bergetar setiap kali keduanya tertawa. Mungkin, kelakar Pak Danis saat ini, begitu lucu, sampai-sampai, kaca nako ruang guru, ikut terkekeh sampai menggeletar. Syukur, dia masih bertahan di kusen dan tidak jatuh ke lantai.

"Nanti kita pergi ke sana bareng, Pram. Kau pasti suka suasana tempatnya." Suara Pak Danis terdengar begitu ceria. Apa gerangan yang sedang mereka bicarakan saat ini, aku sangat penasaran. Namun, alih-alih mencuri dengar, aku memilih pergi.

"Kalau pergi, gimana ya, nanti dipikirkan lagi, deh, masih ada tanggungan di sini," sahut Pak Pram dengan nada yang terdengar tidak yakin.

Aku menghela napasku kasar, "Semua akan baik-baik saja, Ada dia atau tidak, tidak akan mengubah apa-apa." Aku menggembungkan pipi sambil melangkah pergi. Bel sudah berbunyi, jam istirahat sudah selesai, aku harus kembali ke kelas segera.

Aku melewati lapangan dan berjalan lurus sampai kelas yang ada di seberang ruang guru. Di taman yang ada di sisi lapangan, ada seorang gadis berambut pendek berdiri di sana dengan tatapan penuh kebencian. Dia meludah ke samping, seakan jijik dengan kehadiranku.

"Mita," desisku pelan.

"Dia tak ingat, atau pura-pura lupa denganmu, Hana?" Tiba-tiba saja, Luka sudah berdiri di sampingku. Dia ikut memandangi Mita yang sekarang sudah berjalan menjauh.

"Biarlah, toh dia ingat atau tidak bukan urusanku lagi."

"Kau tahu kalau puzzle kembali terbuka 'kan?" Luka mengambil posisi di depanku. Aku menengadah menatap ke dalam matanya.

"Satu demi satu, puzzle itu terbuka, dan jatuh berguguran tanpa bisa ditahan. Entah kekuatan apa yang membuatnya sampai hancur begitu  aku menduga, ada seseorang yang mengguncang kedamaian dunia paralel dan menimbulkan kekacauan di sini."

Aku menatap wajah Luka dalam-dalam, jelas saja kehawatiran terpampang nyata di wajah putihnya. Dia menoleh ke arah lain, ada gadis lain yang menatap ke arah kami dengan pandangan takut-takut.

"Apa kau pura-pura nggak lihat? Padahal, hanya kita berdua saja yang bisa melihatnya."

"Aku sedang tak ingin membantu siapa-siapa," jawabku lurus. "Aku sedang tak ingin terlibat dengan permasalahan hidup orang lain saat ini."

Memikirkan kenangan apa yang paling berharga untuk ibu saja aku tak bisa memikirkannya. Aku beranjak hendak berjalan menuju kelas.

"Apa karena ibumu?" tanyanya lagi. Luka menahan lenganku.

"Ya, ibuku, apa ada kenangan yang bisa aku beli sekarang? Aku akan memberikannya pada ibuku, tapi tidak dengan kehilangan satu demi satu temanku. Kehilangan kalian itu harga yang terlalu mahal untukku, Luka. Aku berharap, kau memahami itu."

Aku melepas tangan Luka dan pergi ke kelas. Dia tak berusaha mengejar, hanya diam terpaku di tempatnya.

"Hm, lagi berantem toh." Suara paling menjengkelkan itu pasti milik Dira. Benar saja, dia berdiri tak jauh dari kami. Dia menyilangkan tangannya di dada berdiri bersandar pada dinding. Gayanya sudah sangat sok asyik sendirian.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang