Bagian 9

100 18 7
                                    


Rana benci di mana raga nya menolak untuk kuat, sekeras apapun ia menahan gejolak yang ada dalam perut nya hingga berwujud basah yang perlahan terlihat di kedua sudut matanya, namun itu tak membuat raganya merasa lebih baik.

Satu sisi dalam tubuh nya merasa ini menyenangkan, namun sisi lain juga merasa jika ia tersiksa. Langkahnya tertatih menuju toilet terdekat, ia menutup pintu tak luput mengunci nya dari dalam bersamaan dengan tubuh nya yang meluruh di atas ubin ubin dingin toilet, tubuhnya meringkuk, menyembunyikan wajah di balik lipatan tangannya yang mengepal.

Mengapa tidak mati saja, tuhan?

Rana bosan menginginkan kematiannya, itu sudah berlalu dari saat ia kecil, namun hingga sekarang itu semua belum juga terjadi, apa tuhan masih belum bosan membuatnya menderita di sini?

Gejolak kuat yang ia rasakan membuat nya buru buru berdiri hingga hampir saja terjatuh jika ia tak menggapai ujung wastafel, ia menyalakan keran, memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di tenggorokan, jelas saja, sudah di bilang ia belum makan apapun dari semalam, apa yang bisa ia keluarkan selain cairan pahit menyiksa seperti sekarang?

Huek

Huek

Dirasa tak ada lagi cairan yang keluar, Rana membasuh wajah nya dengan air, tubuhnya kembali luruh dengan kaki yang bergetar, nafas nya memberat dengan mata yang terpejam, air bercampur dengan deras nya keringat dingin membasahi kerah seragam yang ia kenakan, satu kancing teratas sengaja ia lepas untuk mempermudahnya bernapas.

Ia membenturkan kepala nya pada wastafel, menghalau pusing yang perlahan mendera, biasanya ini cukup ampuh bagi Rana, semakin lama semakin keras, Rana bahkan merasakan jika telinganya berdengung tanpa sebab.

Tok tok tok

Kirana

Suara yang terdengar dari luar berhasil membuat Rana menghentikan gerakannya, ia membuka mata, detik detik pertama ia merasa penglihatan nya sedikit kabur, namun beruntung nya rasa pening itu pergi dengan cepat, Rana meneguk ludah nya susah.

Kirana

Suara itu kembali terdengar dari luar, Rana merasa aneh mendengar namanya di sebut dengan lain, sebelumnya tak ada yang menyebutnya dengan panggilan seperti itu. Susah payah Rana berdiri di tengah kaki nya yang bergetar, bibir pucatnya menghela napas panjang, langkahnya terasa berat namun tetap ia paksakan.

Pintu terbuka, dan yang ia lihat pertama kali adalah seorang gadis berkaca mata dengan rambut tergerai, netranya nampak berkeliaran melihat kesegala penjuru arah, mengawasi apakah ada orang lain selain dirinya disana.

Rana berdehum sekilas, dan hal itu cukup mampu membuat atensi gadis itu beralih padanya, ada sedikit ringisan canggung yang Rana lihat sebelum gadis yang ia tau sebagai murid sekelasnya itu menjulurkan sebuah paper bag padanya.

Rana tak lanjut mengambilnya membuat gadis bername tag Alysa itu menurunkan tangan.

"Ini seragam, lo pasti risih kalau terus pakai itu."

Pandangan Rana beralih pada paper bag yang gadis itu bawa, di akui atau tidak Rana memang membutuhkan seragam baru, ia pulang dengan kondisi nya yang sekarang pun rasanya tak mungkin, apalagi melewati gerbang depan yang pastinya sudah tertutup dengan scurity yang menjaga.

Namun Rana tak biasa dengan bantuan orang lain, selama ini tak pernah Rana mendapat uluran tangan ataupun belas kasihan dari orang orang di sekitarnya, kata tulus itu tak ada dalam kamus hidup Rana, kalaupun ada itu tak akan berlaku untuknya.

Lama tak ada gerakan, Alysa menaruh paper bag itu tepat di depan pintu toilet yang tak Rana buka dengan sepenuhnya, ia tak nyaman berlama lama disana, selain karna takut ada seseorang yang mengetahui ia membantu Rana, ia hanya izin sebentar ke toilet pada guru yang mengajar.

Dunia Rana Where stories live. Discover now