1

77 36 49
                                    

Dari pagi sampai siang aku hanya melayani dua pelanggan yang ingin memotong rambut. Satu yang setiap hari datang kemari dan pelanggan baru yang rambutnya sudah sepinggang. Juga beberapa orang yang kebetulan lewat dan mampir hanya untuk melihat katalog milikku.

Menjelang sore pun tidak ada lagi yang berkunjung, ini biasa terjadi sebelum hari yang padat menerjangku dan dengan senang hati aku menutup salon. Belum pukul lima, kubuat teh dulu dan menikmatinya di dekat jendela sambil membaca novel. Tidak ada yang pemandangan yang bisa kulihat, keluar salon saja langsung menghadap tembok besar, bahkan salon gelap duluan sebelum malam benar-benar tiba. Tidak ada obroloan, aku sendiri, tidak perlu takut, ini sudah kebiasaan.

"Permisi?"

Anak kecil, mungkin baru sekolah dasar masuk ke dalam, entah bagaimana anak itu bisa sampai ke salon, padahal rumah penduduk jauh dan jalan raya di luar jangkauan. Dan ya, salon ini sudah tutup.

"Sudah tutup, kamu bisa segera pulang sebelum petang." Kubuka pintu berniat menghantar pengunjung yang datang di waktu yang tidak tepat.

"Sudah terlanjur petang," anak itu dengan santai duduk di kursi dan melihat katalog. "Sepertinya salon milikmu sepi, apa masuk akal katalog ini hanya ada dua pilihan? Cepak dan botak? Tidak habis pikir! Dan apa kamu hanya memanfaatkan ketampananmu untuk menarik pelanggan?"

Kurebut katalog dan menarik anak itu, "Ya! Cukup tahu dan segeralah pergi."

Tanganku dihempas dengan kasar, anak itu mematung, tangannya bersedekap dan memalingkan wajah. Karena kesabaranku di bawah rata-rata, ya kuakui itu, umur bertambah bukan berarti kesabaran yang bertambah pula, kutinggalkan anak itu, lalu menuju dapur kecil untuk mencuci beberapa gelas dengan kasar sebelum meninggalkan salon. Samar-samar kudengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Anak itu sudah pergi.

Namun aku salah, tak lama anak itu bersuara, "Om, ada pelanggan! Sudah kubuka pintunya!"

Buru-buru kubersihkan tangan lalu ke depan, lantas kupandang pelanggan yang terduduk di kursi dan anak itu secara bergantian. "Kamu melihatnya?"

"Kenapa tidak? Dari tadi dia cuma mondar-mandir di depan. Pelangganmu, kan?"

"Bukan."

"Hah?"

"Dia ... jiwa yang sedang berkeliaran."

Segera saja aku memangkas rambut pelanggan terakhir lalu menutup salon. Bergegas membawa anak kecil itu pergi, tidak seharusnya dia disini dan melihat sesuatu yang dapat mengganggunya. Setelah melewati gang sempit dan berbelok aku berhenti di sebuah konter hp bekas. "Carikan laporan anak hilang!"

"Maaf kami bukan kantor polisi."

"Ah ... jangan bercanda!" kusentak Juan, pemilik konter itu. Juan membuka komputer lantas mengoprasikannya.

"Siapa namanya?"

"Siapa namamu?" tanyaku tidak sabaran.

"Dipo ...."

"Serius!" Aku semakin kehilangan akal. Jarang sekali aku dihadapkan dengan anak kecil, bisa dibilang tidak pernah.

"Tapi namaku Dipo."

"Rumah?" Anak itu menggeleng. Ditanya orang tua atau saudara pun membisu yang membuatku terduduk lemas di kursi.

"Jhon, cukup Dipo aja apa enggak bisa nyarinya?" kulihat layar komputer yang sedang mencari khasus anak hilang bernama Dipo. Dipo yang bukan aku. Tetapi tidak ada laporan kehilangan. Atau anak ini sengaja dibuang? Pintar juga orang tua itu mencari tempat.

Aku memikirkan untuk diserahkan ke kantor polisi atau kepala desa atau apalah itu. Namun aku tidak bisa pergi seenaknya, harus tetap berada dalam jangkauan salon. Tetapi tidak mungkin juga merawat anak itu tanpa alasan yang mendasar. Ya, mau tidak mau harus kubawa ke kantor polisi dan pulang secepat mungkin.

"Om," tanganku dipegang anak itu. "Jangan dibawa ke kantor polisi ya? Aku datang kesini sendiri karena liat ibuku, tapi ternyata bukan."

"Seharusnya kamu langsung pulang begitu menyadari itu bukan ibumu, bukan malah menyusahkanku!" Anak itu tertunduk dan aku tidak boleh marah sembarangan. Kuatur napas dan menyugar rambutku beberapa kali.

"Maaf om. Tapi boleh tidak aku sama om dulu?"

Demi tuhan! Untuk apa? Aku menatapnya tidak tidak percaya.

Benar, aku harus segera membawanya ke kantor polisi. "Juan, tutup kontermu, antarkan aku ke kantor polisi!"

"Om jangan, om!" Anak itu memberontak, "jujur aku sudah berkali-kali datang kemari karena sering lihat ibuku masuk ke salon om!"

"Kamu bilang itu bukan ibumu!"

"Tapi aku merasa dia keluargaku. Untuk apa setiap hari datang ke salon."

Aku mematung saat akan menarik pintu gulung, salonku hanya untuk jiwa yang hilang. Tugasku memangkas rambut yang membutakan arah agar jiwa segera kembali pada pemiliknya.

"Tidak! Kamu harus pulang!" tegasku.

TBC
Dipo's Last Mission:Eternity, sukmaagrc ©2023
7 Februari 2023

TBCDipo's Last Mission:Eternity, sukmaagrc ©20237 Februari 2023

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dipo's Last Mission: EternityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang