one; good intention

39 6 1
                                    

Genap setahun hidup di Inggris dengan keadaan tidak memiliki apapun selain diri sendiri dan teman cerewet seperti Ale-mungkin tidak akan berhasil membuat seorang Arzenno Kalendra bertahan. Meninggalkan gemerlapnya ibukota Jakarta demi mengadu nasib di negara asing tidaklah mudah. Semua yang ia temui disini sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Ia bahkan belum menemukan pekerjaan yang cocok untuk ditekuni dan memilih untuk bermusik di jalanan dengan temannya untuk mengisi waktu luang. Dari inisiatif bermusiknya tersebut, ia berhasil mengumpulkan uang untuk sekedar membeli makan untuk menyambung hidup.

Kata Ale, Andra itu tampan tapi bodoh. Bagaimana tidak? Ia rela mengorbankan sebuah tawaran menjadi model demi menjalani kegiatan bermusik yang tentu saja hasilnya tidak seberapa dibandingkan berpose di depan kamera. Memang terkadang Ale tidak memahami jalan pikir Andra. Dan tentu saja satu hal yang selalu membuatnya penasaran adalah mengapa Andra selalu menolak untuk bekerja di dunia entertainment yang jelas-jelas membutuhkan dirinya.

“Gue cuma nggak suka menjual tampang dan tubuh gue untuk dikonsumsi publik,” Andra duduk di sebuah kursi rotan seraya menyeduh kopi dalam cangkir.

Di sebelahnya ada Ale yang tengah berdecak kesal sebab sudah kesekian kalinya mendengar temannya berucap demikian. Ia sempat berpikir seiring berjalannya waktu jalan pikiran Andra akan berubah, tetapi nyatanya tetap sama saja. Tidak ada perubahan atau kemajuan.

“Hidup di negara orang itu susah, Ndra. lo mau kita jadi gelandangan cuma gara-gara lo sering nolak tawaran jadi artis?”

Andra mengendikkan bahu, “lo sendiri kenapa masih ngikut gue bermusik?”

Ale cengengesan, “Selagi gue bisa makan enak, kenapa nggak?”

“Tuh lo tau, jadi nggak usah rewel deh,”

Ale mendengus. Percuma memang memberikan saran kepada manusia batu seperti Andra ini. Maka dari itu ia memilih Membiarkan Andra menikmati kopi hangatnya. Mereka tidak bercakap-cakap lagi hingga suara dering bel pintu terdengar. Ale sigap beranjak dari kursinya, namun langkahnya tertahan setelah Andra menarik kupluk hoodie-nya dari belakang.

“Astaga, gue kejengkang ini!”

“Itu tamu gue, lo duduk sini aja jangan kebanyakan tingkah,”

Tak mau berdebat panjang, Ale memilih mengalah. Lagipula ia heran bagaimana bisa Andra tahu jika seseorang di luar sana adalah tamunya? Bagaimana jika ternyata yang datang adalah jasa delivery atau laundry?.

Meninggalkan Ale yang sibuk dengan pikirannya, Andra justru melangkahkan kaki dengan semangat kemudian membuka pintu. Nampak seorang wanita yang tengah berdiri di luar dengan raut wajah dingin. Tetapi Andra sudah terbiasa melihatnya, maka dari itu ia sama sekali tidak terkejut.

“Hai,”

“Aku datang untuk mengembalikan pengisi daya baterai milikmu, terimakasih. Saya pulang dulu,”

“Hei tung—gu,”

Andra terkesiap namun langkahnya kalah cepat. Lidahnya kelu tak sanggup mengucap sepatah katapun untuk menahan kepergian wanita tadi. Batinnya menjerit lantas mengutuki kebodohannya yang selalu bertindak lambat.

“Oh jadi tamu lo itu si tetangga sebelah?” Ale muncul kembali dengan sekaleng keripik singkong dari balik punggung Andra.

“Masih berniat mau nikahin manusia es itu?” sambungnya.

Andra berdecak, “Sembarangan banget lo kasih dia nama,”

“Emang iya kan? Dia cuek banget sumpah tapi cantiknya juga nggak ngotak sih,”

Andra tidak menyalahkan sudut pandang Ale tentang seorang wanita yang ia kenal baik dengan nama Atherine. Seorang wanita misterius yang telah menjadi tetangga apartemen mereka sejak awal mereka pindah kemari. Saking tertutupnya Atherine hampir tidak pernah terlihat bersosialisasi dengan siapapun di dekat sini. Andra berulang kali melihatnya keluar untuk bekerja saja. Selebihnya, Atherine benar-benar tidak pernah terlihat keluar dari apartemen.

NEIGHBORWhere stories live. Discover now