41. Si Tukang Copas Tugas

37 4 22
                                    

Angin malam yang dingin menyambut Rendra. Pemuda itu baru keluar dari sebuah gedung mewah bersama beberapa murid dari sekolah lain. Setelah digembleng pengajar profesional di ruangan tertutup, kini Rendra bisa menghirup udara segar. Di hari pertamanya mengikuti kelompok belajar anak-anak elite, Rendra merasa kurang nyaman. Alasannya tentu karena ini bukan kehendak Rendra, melainkan ibunya. Ya, sang ibu yang masih tak puas dengan nilai akademis Rendra lantas mendaftarkan Rendra di kelompok belajar tersebut tanpa merundingkannya terlebih dahulu. Sungguh Rendra ingin melarikan diri tadi jika saja ibunya tak berjaga di depan gedung hingga proses belajar dimulai.

Beberapa saat kemudian, seorang gadis berambut sebahu mendekat pada Rendra. Dengan ragu, gadis tersebut menepuk pundak Rendra dari belakang. Rendra pun membalikkan tubuh, memandang sosok yang sepertinya hendak mengajaknya berbicara.

“Lo Rendra, 'kan?” tanya gadis yang bernama Celine Kinanti Wiyoko tersebut.

Rendra mengangguk, memberikan jawaban. Kemudian, Celine memberikan sebuah buku tebal pada Rendra. Tentunya dengan diiringi bibir tersenyum yang menampakkan lesung pipi menawan.

“Buku lo ketinggalan,” ungkap Celine.

Rendra menerima buku pemberian Celine. Saking terburu-burunya keluar dari ruang belajar, Rendra sampai meninggalkan bukunya. Padahal saat ini Rendra masih berdiri di depan gedung untuk menunggu jemputan.

Thanks!” ucap Rendra seraya tersenyum.

Celine mengangguk. Setelah sekian lama mendengar nama Rendra sebagai salah satu murid terbaik di SMA Pilar Nusantara, akhirnya ia bisa bertemu secara langsung dan berbicara dengan sosok Rendra yang terkenal cerdas dan ramah itu. Walau sebelumnya mereka pernah mengikuti perlombaan yang sama. Namun, Celine belum sempat berkesempatan bicara dengan Rendra.

“Gue sering denger tentang lo dari temen gue yang sekolah di SMA Pilar Nusantara. Dan ternyata, lo emang sekeren itu,” ujar Celine, memulai pembicaraan.

Rendra menanggapi perkataan Celine barusan dengan senyuman. Reputasi sosok Rendra memang sangat baik di mata para murid SMA Pilar Nusantara. Berbeda jauh dengan Dewa yang terkenal dingin.

“Oh iya, murid dari SMA Pilar Nusantara yang gabung kelompok belajar ini, kenapa cuma dua orang? Yang lainnya udah punya kelompok belajar sendiri atau gimana?” Celine masih tetap berusaha memperpanjang perbincangannya dengan Rendra.

“Gue kurang tahu. Tapi, kebanyakan temen sekelas gue pada bimbel di tempat bimbel yang direkomendasiin sama wali kelas,” beber Rendra.

Celine mengangguk paham. Dahulu, ia sempat ingin bersekolah di SMA Pilar Nusantara. Sayangnya, sang ayah sudah mendaftarkannya di SMA Adhyaksa. Sekalipun SMA Pilar Nusantara dan SMA Adhyaksa sama-sama sekolah unggulan. Akan tetapi, teman-teman SMP Celine banyak yang memilih SMA Pilar Nusantara.

Selang beberapa saat, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Celine segera melangkah menuju mobil milik sang ayah. Sebelum masuk mobil, gadis itu melambaikan tangan pada Rendra.

“Nama gue Celine! Sampe ketemu besok!” ucap Celine setengah berteriak. Setelahnya, ia masuk mobil.

Selepas mobil yang Celine tumpangi melaju, kini giliran mobil ibunya Rendra yang menggantikan. Nyonya Shinta menyalakan klakson agar Rendra lekas masuk mobil dan tak membuang waktu. Rendra masuk mobil dengan cepat. Laki-laki itu seperti sudah hafal bagaimana watak sang ibu.

“Gimana tadi? Apa kamu suka sama cara pengajarannya?” tanya Nyonya Shinta saat Rendra duduk di kursi samping kemudi.

“Aku ... aku suka, Ma,” jawab Rendra yang seolah tak berani protes.

Nyonya Shinta tersenyum. Memang seharusnya Rendra puas, sebab untuk bisa bergabung di kelompok belajar bergengsi itu, Nyonya Shinta harus membayar mahal. Tak hanya tentang uang, tapi juga tentang koneksi. Kebanyakan yang bergabung di kelompok belajar tersebut adalah anak-anak dari keluarga terpandang dengan reputasi keluarga yang sudah tak diragukan lagi.

Rahasia Kita [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang