Tujuh: Sebuah Kesepakatan

448 78 3
                                    

Respons apa yang tepat ketika seorang mantan tiba-tiba menghubungi, di depan calon suami, dan saat sedang mempersiapkan pernikahan? Anjani tidak menemukan jawaban

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Respons apa yang tepat ketika seorang mantan tiba-tiba menghubungi, di depan calon suami, dan saat sedang mempersiapkan pernikahan? Anjani tidak menemukan jawaban. Semuanya mendadak kosong.

Perempuan itu memilih menjauh dari Dhimas, mencari tempat yang bisa mendinginkan kepala dengan ponsel masih menempel di telinga. Pada Dhimas, Anjani berkata ada telepon dari pelanggan toko kue yang melayangkan protes. Untungnya Dhimas percaya.

"Hasan, kamu tahu nomor aku dari mana?"

"Dari Kamila. Eh, aku baru sadar, kalian, kok, bisa saling tahu kontak? Bukannya kalian nggak berteman?"

"Kami berteman sekarang," jawab Anjani pendek. "Aku lagi sibuk. Aku tutup telepon sekarang, ya."

"Eh, sebentar! Aku mau ketemu. Kamu lagi di toko, kan?"

"Nggak, Hasan. Aku lagi di butik sama Dhimas."

"Dhimas? Siapa dia?"

"Calon suami aku."

"Anjani, bisa nggak kamu nggak usah bercanda? Aku ini yang akan jadi calon suami kamu, Sayang."

Anjani menggigit bibir bawahnya, mencengkeram ponsel erat-erat. Rasanya campur aduk. Semula kalimat itu memang jadi sebuah pengharapan. Semula Anjani bermimpi Hasan yang datang ke sini bersamanya. Anjani berani merangkai mimpi indah bersama Hasan sampai kemudian ditampar oleh kenyataan.

"Maaf, Hasan, aku lagi nggak bercanda. Ini kenyataan. Kamu itu lagi sakit. Aku harap ini telepon pertama dan terakhir kalinya."

Sebelum Hasan membalas, Anjani menutup teleponnya lebih dulu, lalu memblokir nomor tersebut supaya Hasan tidak mengganggunya lagi. Dirasa sudah cukup, Anjani kembali menghampiri Dhimas yang sedang mengobrol dengan sang desainer.

"Udah?"

Anjani tersenyum. "Udah, Mas."

Perempuan itu menghela napas. Semuanya telah berakhir.

Usai menidurkan Zira, Kamila keluar dari kamar itu dengan perasaan hampa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Usai menidurkan Zira, Kamila keluar dari kamar itu dengan perasaan hampa. Sudah tidak terhitung berapa kali dirinya merasakan penyesalan. Katanya, ujian dari Tuhan itu berdasarkan kemampuan hamba-Nya, tetapi ternyata ujian ini sangat berat. Kamila merasa dirinya tidak sanggup menahan beban ini. Kamila benar-benar tidak masalah jika Hasan tidak ingat semuanya, tetapi kalau sudah menyakiti Zira, Kamila tidak bisa. Bagaimana caranya Zira bisa mengerti bahwa ayahnya sedang lupa ingatan?

LengkaraWhere stories live. Discover now