10. Degup

61 25 3
                                    

"Hana, bangun!"

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

"Hana, bangun!"

Aku memicingkan mata, ada Ayah duduk di tepi ranjang sambil mengguncang pundakku kuat. "Sayang, bangun!! Udah siang, loh! Kamu nggak sekolah!!"

"Hm... Apaan, Yah, masih gelap!"

"Ya, salat Subuh, yuk, Dek," ajak Ayah pelan.

"Dek?" Kubuka lebar mata agar bisa menatap wajah ganteng Ayah pagi ini. Dia tersenyum manis sekali, sepertinya sesuatu yang baik terjadi padanya. Sudah lama sekali aku tidak menemui senyum semanis ini.

"Iya, deh, Kak Hana, ayoo bangun salat." Ayah tersenyum manis padaku. "Ibun cerita tentang kamu sepanjang malam, dia bilang pengen makan bareng lagi sama Dek Hana," goda Ayah.

"Beneran?" Mataku berbinar mendengar penuturan ayah. "Alhamdulillah."

Aku memeluk Ayah erat-erat, tangis yang sejak semalam tertahan, kutumpahkan begitu saja di pundaknya. Dia mengelus kepalaku pelan.

"Sabar ya, jangan sedih gitu."

"Aku pengen ibun sehat lagi, Yah," isakku.

"Iyah, nanti pelan-pelan kita bisa sama-sama lagi. Sekarang, Hana mandi, salat, sarapan, berangkat sekolah ya."

Aku melepaskan pelukan. Ayah menoel hidungku yang minimalis.

"Oh iya, buat sementara, Dek Hana belajarnya ama Pram ya, berangkat sekolahnya juga bareng dia ya," kata ayah diiringi dengan tawa yang tertahan.

"Nggak mau, maunya ama Ayah aja!" kataku menggeleng keras.

"Kenapa gitu? Kan Pram baik orangnya, humoris, murah senyum, sama kek Ayah."

"Nggaaaaaak mau pokoknya!"

"Lagian, dia juga masih sodara, kok! Apa mau dihalalkan dulu. Baru mau, Dek?" goda Ayah. Mata ayah mengerling genit ke arahku. Rasanya ada yang salah. Bukannya kemarin dia bilang, 'nggak boleh cepat-cepat nikah,' kok, sekarang?

Aku segera loncat dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. "Nggak! Nggak mau!!" teriakku kuat.

Laki-laki tinggi itu berjalan di depanku, dengan sebuah handuk yang tersampir di pundaknya. Dia menyisir penampilanku dari atas sampai bawah. Lalu, buang muka. Aku yakin, dia pasti senyum-senyum gak jelas.

"Apa liat-liat!"

"Mukamu kalau bangun tidur lucu juga ya, Hana. Rambutmu juga!"

"What?" Aku segera berlari ke kamar dan menatap ke arah cermin. Tuhaaaaaan, mukaku. Rasanya, aku ingin berteriak sejadinya, bagaimana mungkin aku menampilkan wajah menyedihkan dengan rambut kusut bak surai singa ini di hadapannya?

"Kamu seperti Samurai kalah perah, Hana!" katanya sambil lalu, saat kami berdua sudah siap berangkat ke sekolah.

Dia memperlihatkan kepribadiannya yang tiba-tiba terasa begitu menawan. Sepertinya, bukan dia yang aneh, tetapi aku yang aneh.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें