6 - Ngerumpi

24 13 22
                                    

Pagi-pagi sekali Romlah sudah pergi ke kebun sawit miliknya untuk membersihkan rumput yang tumbuh subur di sekeliling pohon sawit. Sedangkan Berlian, membersihkan rumah sendirian.

Gadis 19 tahun itu sejak tadi kerja sambil mengomel karena kesal dengan sahabatnya, si kecil Hantu Asad. Tadi malam yang mengganggu dirinya dan sang nenek adalah si kecil Asad. Hantu kecil itu sedang iseng dan ingin mengerjai sahabatnya. Ia membuat keributan di ruang tamu, setelah itu bersembunyi.

Tadi subuh hantu kecil itu baru mengakui perbuatannya pada Berlian. Ia mengaku sambil cengengesan dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Berli, aku izin mau main lagi, ya? Aku bosan di rumah bae. Di air terjun aku punya banyak teman yang seru-seru. Boleh, ya, Berli?" rengek Hantu Asad penuh permohonan.

Sana pergi yang jauh, jangan pernah pulang! omel Berlian dalam hati sambil mengepel lantai.

"Yeay! Berlian baik!" Hantu kecil itu jingkrak-jingkrak lalu melayang keluar. Ia kembali pergi ke Air Terjun Lumut karena di sana banyak teman.

Baru kali ini Asad mengunjungi tempat asing dan langsung diterima dengan baik. Bisanya, setiap ia mengunjungi tempat asing, ia selalu dimusuhi. Oleh karena itu, kali ini ia merasa sangat nyaman dan ingin selalu kembali ke Air Terjun Lumut. Ia merasa Air Terjun Lumut seperti rumahnya. Ia nyaman berada di sana.

Berlian menghela napas panjang karena kesal dengan kelakuan sahabatnya. Sejak awal ia sadar, Hantu Asad adalah hantu bocah, maka otak dan pemikirannya pun bocah. Meskipun saat ini usia meninggal dunianya sudah 50 tahun, tapi tetap saja ia bocah. Hantu tidak bertumbuh seperti manusia. Asad akan tetap terlihat bocah seperti saat ia meninggal dunia.

Selesai bersih-bersih rumah, memasak makan siang, dan mandi, Berlian memutuskan untuk jalan-jalan keliling kampung. Ia bosan jika hanya berada di rumah saja.

Saat melewati rumah salah satu warga, ia dipanggil dan diajak merujak bersama. "Berlian! Sini, sini!"

Dua orang ibu muda melambai-lambai pada Berlian yang tengah jalan sendirian sambil bersenandung kecil. Dua orang itu tidak bekerja karena yang satu sedang hamil besar, sedangkan yang satunya lagi sedang sakit kaki, kakinya keseleo cukup parah sehingga ia tidak bisa pergi berkebun.

Berlian mendatangi dua ibu muda itu sambil tersenyum ramah. Ia ikut nimbrung, duduk di teras. Tanpa sadar ia menelan air liur karena tergoda dengan rujak yang menggiurkan.

"Ayo makan rujak, Berli. Kau dak papa kan makan rujak pagi-pagi gini?" tanya Wardah, sang ibu hamil.

"Dak papa, Yuk. Aku dak punya pantangan apapun kok," jawab Berlian sambil tersenyum malu-malu.

"Ya udah, ayo makan! Jangan malu-malu," timpal Rosalina, ibu yang kakinya keseleo.

Berlian mengambil sebutir jambu air lalu membelahnya menggunakan tangan, kemudian ia mencolek jambu tersebut pada bumbu yang ada di cobek, setelah itu ia segera menyantapnya. Rasanya sangat nikmat sekali.

Meskipun ini baru pukul sepuluh pagi, tapi perutnya tidak merasa perih memakan rujak pedas. Ia memang tidak memiliki pantangan dengan makanan apapun. Ia bebas makan apa saja di jam berapa saja, perutnya akan baik-baik saja.

"Kata Yuli, kemarin kau ke Air Terjun Lumut sendirian?" tanya Wardah sambil mengunyah. Nama yang ia sebut adalah nama sang penjaga warung.

"Iya, Yuk."

"Dak takut kau, Berli? Air terjun itu angker lho. Enam bulan lalu ada yang meninggal di sana," beritahu Rosalina dengan nada suara sok misterius.

"Siapa, Yuk?" tanya Berlian penasaran. Ia sampai menghentikan kunyahannya dan menahan jambu gelondongan di dalam mulutnya. Ia penasaran sekali.

"Namanya Sari. Sari itu anaknya Wak Ningsih, anak pemilik warung. Dia meninggal secara sadis. Telanjang dan perut sama wajahnya dicabik-cabik parang. Ih, Ayuk dak berani liat, Berli. Dak kuat." Rosalina bergidik sambil mengelus lengannya yang berlemak.

"Kasihan Sari. Padahal dia itu masih muda lho, baru 17 tahun, tapi meninggal secara tragis. Dak tau lah siapa orang yang jahat dan tega melakukan itu ke dia," timpal Wardah.

Berlian langsung teringat dengan hantu perempuan yang kemarin menerornya. Ia yakin, hantu itu adalah Sari. Dari cerita dua ibu-ibu ini, tubuh dan wajah Sari penuh luka cabik, dan hantu yang menerornya juga memilki ciri-ciri yang sama. Pasti hantu itu adalah orang yang sama dengan yang saat ini diceritakan oleh Wardah dan Rosalina.

"Semenjak kejadian itu, kami orang-orang sini dak ada yang berani ke Air Terjun Lumut lagi. Bahkan Wak Saleh pemilik kebun pun dak berani motong di kebun itu kalau dak siang bolong dan cuaca cerah," beritahu Rosalina sambil mengupas kedondong.

"Ada yang pernah diganggu, Yuk?" tanya Berlian penasaran.

Wardah menggeleng pelan. "Dak ada sih, tapi kami tetap takut."

Berlian mengangguk paham. Ia mengunyah rujak sambil terus memikirkan Hantu Sari. Satu sisi hatinya merasa kasihan dengan nasib yang menimpa Sari, dan ia berniat untuk menolong. Namun di sisi hatinya yang lain, ia tidak mau berurusan dengan hantu.

"Omong-omong, Sari idak divisum?" tanya Berlian penasaran.

"Idak. Mamaknya dak mau ngelaporin ke polisi. Habis ditemukan langsung dimakamkan," jawab Wardah.

Berlian memiliki dua teori konspirasi tentang ini. Pertama, orang tua Sari tidak teredukasi sehingga tidak tahu harus berbuat apa jika keluarga mereka meninggal secara tidak wajar. Kedua, orang tua Sari diancam oleh pelaku agar jangan melaporkan hal tersebut ke polisi.

"Berlian, kau anak kuliahan, kan?" Wardah bertanya dengan mulut penuh.

Berlian mengangguk sebagai jawaban. Ia hanya mengangguk saja karena mulutnya sedang penuh dengan buah, sehingga sulit untuk bicara.

"Semester berapa kau, Berli? Adik Ayuk semester 5," beritahu Wardah. Adik yang ia maksud adalah Yuda, satu-satunya pemuda di Desa Keling yang kuliah. Yuda adalah adik ipar Wardah.

"Semester 3, Yuk," jawab Berlian sopan.

"Beasiswa atau biaya sendiri kau, Berli?" kini giliran Rosalina yang bertanya.

"Biaya dari orang tua, Yuk."

"Coba kau contoh Yuda, Berli, dia hebat dapat beasiswa. Sejak masuk kuliah sampai sekarang bapak mamaknya dak keluar biaya sepeserpun. Eh, ada lah keluar biaya untuk jajan, tapi biaya kuliah gratis."

Berlian hanya meringis saja sambil mengunyah. Begini ini resikonya kalau nongkrong dengan ibu-ibu, harus siap mental.

Ketiga perempuan itu terus mengunyah rujak sambil mengobrol hal-hal random. Berlian banyak makan hati di obrolan tersebut, karena ia sering dibanding-bandingkan dengan Yuda.

"Kalian dengar sesuatu, dak?" tanya Rosalina sambil menajamkan pendengarannya.

Berlian dan Wardah menggeleng kompak.

Rosalina kembali menajamkan telinganya. Ia mendengar suara tangis lirih yang menyayat hati. Ia yakin, dirinya tidak salah dengar.

"Masa kalian dak dengar suara tangis itu? Coba kalian pasang telinga kalian baik-baik."

Ketiganya kompak berhenti mengunyah, mereka menajamkan telinga mereka baik-baik. Lalu yang terjadi beberapa detik kemudian adalah kemunculan sosok Hantu Sari yang menangis lirih. Air yang mengalir di pipi hantu itu berwarna merah, bukan bening seperti air mata pada umumnya. Hantu itu muncul di pohon mangga tepat di depan mereka duduk.

"Sa-sari?" Wardah yang sangat penakut, langsung pingsan. Berlian segera menangkap tubuh Wardah agar ibu muda itu tidak terjatuh ke tanah.

Rosalina yang juga ketakutan, mengompol tanpa sadar.

Hantu Sari datang karena sejak tadi namanya selalu disebut-sebut oleh mereka bertiga.

***

Hai, vote dan komentarnya jangan lupa, yak. 🥰

Luv,
Juni

Mereka yang Tak Kasatmata (Republished)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن