4 - Dilabrak Pemilik Toko Hape

26 21 11
                                    

Kata orang, gagal adalah kunci kesuksesan. Jadi, kalau percobaan kemarin itu aku gagal, harusnya ya aku coba lagi.

Kemarin aku tak menemukan keberadaan si tukang ojek jaket garis kuning stabilo, hari ini harus ketemu.

Akan kupastikan kecurigaan ini memang layak dipertahankan.

Tepat begitu melihat motornya berhenti, aku langsung berdiri.

Menunggu sejenak sampai dia masuk toko hape, lalu aku buru-buru membuntuti diam-diam.

"Mau ngapain lagi, Dek?" tanya satpam. Dari nada suaranya kentara sekali kalau curiga padaku.

Kali ini aku tak menggubris kecurigaannya. Aku justru memintanya untuk diam. "Ssttt!"

Satpam tak banyak berkata apa-apa, tapi malah ikut mengekor tak jauh dariku.

Kuperhatikan pria berjaket garis kuning itu mendekat ke kasir dan bicara serius. Aku mendekat ke arah rak-rak hape terdekat mereka demi mengetahui omongan keduanya.

"Keberadaan salah satu personel The Big 4 ada di dekat kita, bos."

"Siapa?"

Tiba-tiba mereka berhenti berbisik. Aku melirik, ternyata mereka malah sedang melirik ke arahku.

Aku tersenyum dan mengangguk sopan.

"Dek, sekarang kamu pergi dari sini." Lagi-lagi suara satpam yang ada di dekatku.

Aku menoleh, baru ingat kalau satpam sudah dari tadi membuntuti aku.

"Kamu mau cari apa di sini?" tanya pria yang tadi bicara dengan si jaket garis kuning.

"Mau beli pulsa, bang."

Aku lihat mereka saling melirik. "Di sini gak jual pulsa. Cuma hape doang. Mending cari toko lain, ya."

Aku menggeleng. "Tadi satpam bilang di sini juga jual pulsa."

Satpam melotot. "Kapan saya bilang gitu?"

"Tadi di luar."

Pria kasir itu mengangkat telapak tangannya, membuatku dan satpam diam. Dia mengusir satpam dan kini aku sendirian.

"Nomor hapenya berapa?" Dia keluarkan ponsel untuk mencatat nomorku.

Aku melotot. Baru ingat, aku tak punya persiapan apa-apa untuk ini. Nomor Bunda Ruhi pun lupa.

"Mmm, lupa. Tadi Bunda gak kasih tahu, panjang sih angkanya." Aku buru-buru kabur dari toko sebelum diikuti.

Aku tinggalkan toko hape dan masuk ke warung servis babeh.

Buru-buru menutup diri di antara barang-barang bekas yang masuk daftar antrean.

Babeh masih belum kembali dari warteg. Dia lagi makan siang di sana, biasanya sekalian merokok.

Satu menit berlalu dan aku masih mengatur napasku agar tidak ngos-ngosan lagi.

Di hitungan ke-100, aku bangun. Celingak-celinguk sebentar ke arah toko hape dan memastikan tak ada yang mengikutiku.

Kayaknya sih aman. Aku kembali tegak. Tanganku beralih ke kipas angin yang sudah 2 hari ini belum sempat dipegang babeh.

Kipas angin milik Arrasya Wardhana. Oh, si kolektor kipas angin itu. Dia mah kipas anginnya banyak. Pernah sekali muncul di acara televisi.

Bisa-bisanya Babeh kenal Om Bachtiar sampai dipercaya servis kipas angin anaknya di sini.

Selagi aku coba fokus betulkan kipas, suara langkah kaki mendekat. Bukan cuma satu, tapi tiga orang sekaligus.

Jantungku mulai berdebar. Jangan-jangan ...

Meja digeprak. "Tadi kamu yang ke toko kita kan?" bentak seseorang.

Aku menelan ludah. Kirain tadi sudah aman. Aku terpaksa menunduk, tak berani menatap matanya.

"Kamu dengar apa aja di toko?"

"Gak dengar apa-apa, bang."

"Jangan pura-pura gak dengerin deh. Kami tahu kamu pasti mata-mata mereka kan?"

Aku bingung. Mereka yang dimaksud itu siapa. Padahal aku ke sana cuma buat pastikan si abang ojek itu berniat mencuri.

Tapi kok ternyata masalahnya lebih gede dari sekadar mencuri iPhone?

"Jawab kalau ditanya!" Lagi-lagi mejaku digeprak bikin aku gelagapan.

"Saya gak ngerti maksud abang."

"Pake pura-pura lagi."

Hampir saja aku jadi korban pemukulan, pria paling depan menghentikannya.

Masih untung! batinku.

"Kamu bisa benerin barang rusak?"

"Bisa, bang."

"Semuanya?"

"Iya."

Aku masih tidak mengerti ke arah mana obrolan si pria jangkung paling depan ini.

"Bawa anak ini ke rumah gue," perintahnya.

Dua orang di belakangnya langsung nurut tanpa banyak tanya. Aku malah kaget setengah mati. Mau diapain nih?

"Jangan, bang. Saya masih mau sekolah, bang." Aku berusaha bertahan, tapi ujung-ujungnya keseret juga.

Aduh! Mati aku nih.***

The Hero Next Generation: BhuviWhere stories live. Discover now