7 - Ke Rumah Jenggo

24 22 11
                                    

"Bhuvi, kamu dari mana aja? Tadi hampir aja bunda Ruhi mau lapor polisi tahu gak?" seru Betrand, saat melihatku masuk panti.

Ternyata semua orang sudah menungguku.

"Tadi kamu ke mana saja?"

Baru saja ingin kusebut 'Aku diculik', tapi akhirnya hanya bisa diam.

"Bhuvi?"

"Aku tadi kelamaan di rumah Mbak Yessi. Nonton bareng temen."

Bunda Ruhi langsung marah, "Kamu sudah pulang kemalaman, ternyata cuma main di luar? Kan bunda sudah bilang, batas waktu di luar cuma sampai jam 5 sore!"

"Sekarang masuk kamar, ga usah makan."

Aku masuk kamar.

Betrand menyusulku. Matanya memicing. "Aku tahu banget jadwal rutin bioskop di rumah Mbak Yessi tiap hari. Gak ada yang selesai di jam 10 malam begini."

Aku berpura-pura lakukan hal lain agar dia tak banyak bicara. Tapi Betrand masih saja nyerocos.

"Kamu bohong kan sama Bunda?"

Aku berhenti.

"Ke mana tadi?"

"Aku nggak tahu. Tapi kayaknya selangkah lagi aku bisa ketemu sama jagoan yang selametin kita waktu itu deh," kataku.

"Halah, jangan ngaco. Ketemu di mana?"

"Aku juga gak tahu. Tapi sekarang aku tahu nama-nama mereka. Kamu ingat si abang yang tenangin kamu waktu pertama kali datang? Itu namanya Pelor!"

Betrand akhirnya mau dengarkan aku. Dia duduk mendekat dan dengarkan semuanya.

"Kakak yang pakai baju suster waktu itu namanya Alpha. Keren ya namanya?"

Betrand mengangguk setuju. "Daripada nama Pelor, kayaknya itu julukan buat yang suka tidur deh."

Aku ikut mengangguk. "Terus nih ya, tadi itu aku diajarin bikin peledak!" bisikku.

"Serius?"

"Iya. Tapi kamu jangan bilang-bilang sama Bunda. Nanti malah gak dibolehin keluar lagi."

Betrand mengiakan, "Oke. Tapi nanti ajak-ajak dong."

"Jangan! Kamu gak akan kuat, biar aku saja." Sama-sama ingat film Dilan, kami malah tertawa bersama.

Bukan apa-apa, nanti mereka malah curiga karena ada dua Betrand.

*

Aku kira besoknya aku benar-benar bebas saat datang ke tempat babeh.

Toko hape itu malah ditutup. Aku ditarik paksa oleh Jos untuk masuk.

"Pasang alat ini di rumahnya," kata Deva. "Nanti akan diantar Jos buat ke sana. Nanti pasang ini di jendela."

Alat yang aku tidak tahu namanya apa. Tapi berukuran kecil. Cuma minta ditempelin doang udah kayak pajangan.

Aku cuma bisa menurut saja. Duduk di jok motor yang selama ini aku curigai, pakai helm kuning khas ojol.

Jos melaju, membawaku ke rumah kayu yang mungil dan hanya satu lantai. Seperti rumah-rumah panggung yang pernah kutonton di TV.

Rumah ini hanya ada satu pintu di depannya. Aku berjalan mendekat sambil sesekali menoleh ke belakang, si Jos sudah pergi.

Aku menoleh ke sekelilingku. Ada spanduk bertuliskan 'rumah meditasi untuk jernihkan pikiran.'

Aku ketuk pintunya. "Permisi." Ingin kuteriak 'Paket!' tapi pasti hanya disangka anak iseng. "Bang Jenggo!" panggilku.

Aku masih ingat dari foto yang pernah ditunjukkan si Jos dan foto yang ada di spanduk itu sama.

Pria kribo yang dipanggil Jenggo.

"Iya." Seorang pria berambut kribo keluar. "Darimana kamu tahu namaku?"

Aku melotot. Aku kembali menoleh ke spanduk. Ternyata dia gunakan nama Unggul di sana. Waduh, mati aku.

Jenggo memicingkan matanya. "Kayaknya aku pernah lihat kau ya?"

Aku mengangguk cepat. "Kita pernah ketemu, Bang. Waktu itu di ..."

"Masuk sini masuk. Kebetulan hari ini aku memang lagi tutup dulu," katanya dengan ramah.

Aku duduk di rumahnya. Dia masuk ke dalam, seperti mau ambilkan minum.

Aku buru-buru tempelkan alat yang tidak aku tahu gunanya buat apa.Aku taruh di jendela bagian sudut atas agar tak terlihat olehnya.

Cukup lama kami mengobrol dan bicara soal kejadian hari itu. Ternyata aku baru tahu kalau si kakek sudah meninggal. Tiga orang temannya juga sudah berpencar lagi setelah kejadian di Pulau Bersi.

"Abang kangen ya?"

"Kangen lah sama Siska."

"Siska  siapa? Bukannya namanya Alpha?"

Sekali lagi dia makin heran. "Kamu tahu banyak ya tentang kami?"

"Nggak Bang. Kebetulan aja saya cuma tahu nama-namanya doang."

Dia mengangguk-angguk, sepertinya percaya padaku. Aku menarik napas lega. Kudengar suara motor berhenti di depan rumahnya.

"Bang, jemputanku sudah datang. Makasih ya, Bang minumannya."

"Oh ya, Bang. Sebentar." Aku keluarkan buku kecil yang menyimpan plat nomor mobil waktu itu. "Minta tanda tangan, Bang."

Jenggo tertawa, "Sudah seperti artis saja aku ya, dimintain tanda tangan sama bocah."

Dia berikan tanda tangannya. Setelah itu, aku kembali berpamitan.

Aku langsung pergi, dekati motor Jos yang sudah menanti di depan gerbang.***

The Hero Next Generation: BhuviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang