Bab 4. Memandang

2.1K 134 43
                                    

Wira memasuki rumah dengan langkah tergesa. Fokus matanya tidak teralih dari layar ponsel. Langkahnya terhenti ketika panggilan sang ibu terdengar olehnya. Dia berbalik untuk menghadap Ratih yang ternyata sudah berdiri di belakangnya.

"Kenapa, Bu?" tanya Wira membiarkan sejenak pesan-pesan yang masuk di ponselnya.

"Minggu ini, ibu sudah jadwalkan buat urus persiapan pernikahan kamu. Sore ini ada fitting baju juga. Kamu bisa datang, kan?" jelas Ratih kepada putranya.

Setelah persetujuan dari Wira dan Nadhira, dia langsung menyiapkan semuanya dari mulai urusan administrasi di KUA sampai rincian hantaran. Dia akan memberikan sebuah pernikahan yang sempurna untuk anak semata wayangnya, walaupun dalam jangka waktu persiapan yang sebentar.

"Wira masih ada meeting sama klien sampai nanti malam. Ukuran jas Wira sama kayak jas-jas kerja Wira di kamar. Jadi, ibu bisa pakai itu buat patokan fitting bajunya, ya." Wira berucap lembut agar ibunya tidak kecewa. Walaupun dia menerima pernikahan ini dengan terpaksa, tapi Wira tidak bisa melampiaskan kekesalan itu kepada sang ibu.

"Kalo besok gimana? Kebetulan besok ibu sama calon istrimu mau pilih menu makanan catering buat resepsi. Kamu bisa ikut, kan?"

Ratih tidak menyerah untuk membuat Wira ikut berpartisipasi dalam persiapan pernikahannya. Dia dan suaminya tidak buta bahwa putranya menghindari semua yang berhubungan dengan pernikahan ini. Bahkan, Wira seakan tidak peduli siapa yang akan menjadi istrinya nanti.

"Wira usahakan, ya, Bu. Kerjaan di kantor lagi numpuk banget, apalagi nanti ayah suruh Wira ambil cuti seminggu setelah pernikahan."

Ketika mendengar perintah yang berkedok saran dari ayahnya itu, Wira ingin protes karena belum pernah mengambil cuti selama itu. Namun, kekuasaan ayahnya masih sangat berpengaruh di perusahaan. Wira bisa apa selain menurut, bukan?

"Wira lagi buru-buru, cuma mau ambil berkas di kamar. Nanti kita bahas ini lagi, ya."

Wira langsung melanjutkan tujuannya ke kamar untuk mengambil berkas klien yang tertinggal, karena setelah jam makan siang ini akan ada rapat.

Setelah rapat selesai, Wira langsung kembali ke ruangannya dan merebahkan tubuhnya di sofa ruangannya. Pintu terbuka menampilkan Randi, sahabatnya, yang langsung duduk berhadapan dengan posisi Wira sekarang.

"Lo kenapa, sih, Wir? Kadang suka ngelamun pas meeting, parahnya emosi lo semakin nggak kontrol lagi!" Disini, Randi ingin mewakili ocehan banyak karyawan yang sudah kena semprot Wira hanya karena masalah sepele.

Tadi saja, Wira sebelum pulang mengambil berkas klien sempat memarahi sekretarisnya, karena tidak meminta salinan berkas itu kepada dirinya kemarin. Jelas, disini Wira yang salah karena melupakan berkas itu di kamarnya, bukan sekretarisnya yang tidak menyalin berkas penting itu..

Tidak ada jawaban dari pria itu, hal itu membuat Randi menghela nafas berat. Dia tahu penyebab sahabatnya itu menjadi galau sekaligus sensitif seperti ini.

"Ini udah jalan terbaik buat lo sama Jea. Lo bentar lagi mau nikah juga, coba belajar menerima kalo emang lo sama Jea nggak bisa bersama."

Randi jelas tahu bagaimana peliknya kisah cinta Wira, karena dia merupakan sahabat pria itu sekaligus saksi perjuangan Wira mempertahankan Jeanice dalam enam tahun ini yang pada akhirnya harus karam karena terhalang restu.

Wira bangkit dari posisi berbaringnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kabar kepergian Jeanice kemarin ke Jepang. Dia kira hal itu hanyalah mimpi, karena tidak sekalipun terpikir olehnya akan kehilangan wanita yang dicintainya itu.

"Apa gue susul aja Jeanice ke Jepang, Ran?" Wira melontarkan sebuah ide gila yang semakin dipertimbangkan olehnya sejak kemarin.

"Gila! Lo mau bikin orangtua lo malu kalo pernikahan anaknya harus gagal karena mempelai prianya kabur? Pikirin kata-kata gue yang tadi. Ini udah jalan terbaik buat lo, Bro!"

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDWhere stories live. Discover now