Chapter 2

10 1 0
                                    

Naville memandangi Hamparan Rumbia di kejauhan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Istana Fyzool yang berdiri di puncak bukit itu menaungi rumah-rumah penduduk di sekitarnya.

Atapnya yang biru tampak begitu serasi dengan awan-awan putih tebal yang melatar belakangnya. Dinding-dinding putihnya yang kokoh tampak bersinar di bawah sinar mentari pagi.

Berada beberapa puluh puluhan mil dari Schewicvic, Istana Fyzool terlihat seperti raksasa yang berdiri kokoh di antara rumah-rumah kecil yang mengelilinginya. Istana yang begitu megah itu tampak begitu kontras dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Ia tampak begitu kokoh dan kokoh.

Tentu saja tidak semua bangunan di sekitar Istana Kecil. Masih ada gedung Parlemen yang megah. Kawasan elit para orang kaya juga berada di salah satu sisi ibu kota.

Beberapa kilometer di belakang Istana juga tampak kediaman keluarga Krievickie, Mangstone Villa .

Di Loudline juga ada banyak jalan-jalan yang terkenal. Ada jalan yang terkenal dengan keindahannya, jalan yang terkenal dengan kerimbunan pohonnya, ada juga jalan yang terkenal dengan pertunjukan-pertunjukan atraksinya yang tiada henti juga ada jalan lebar dengan toko-toko yang indah di kanan kirinya.

Di malam hari bila kau tidak bisa tidur, kau bisa pergi ke kedai kopi yang buka sepanjang hari

di setiap sudut kota terbesar di Viering itu. Bar-bar elite yang hanya didatangi oleh bangsawan juga ada di segala penjuru Loudline, salah satunya adalah Dristol , tempat Jongin bertemu dengan istrinya.

Naville memandang istana yang megah itu lekat-lekat. Tidak tampak tanda-tanda yang mencurigakan dari Istana. Tidak tampak juga kejanggalan di dalam Istana yang selalu berkilau itu.

Namun ada banyak masalah di dalamnya.

Naville tidak perlu pergi ke sana untuk mengetahui masalah-masalah di dalam bangunan yang megah itu. Koran-koran cukup menceritakan apa yang ada di dalamnya. Kabar-kabar burung yang sampai di telinganya cukup menjelaskan apa yang tengah terjadi di sana.

Seperti pagi ini, dari orang-orang yang ditemuinya di pasar ia mendengar gejolak kemarahan Jevano masih belum surut. Naville tidak yakin kemarahan pria itu akan reda dalam waktu singkat.

Dari John, Naville sering mendengar bagaimana menyeramkannya kemarahan Jevano. Naville tahu John juga para bangsawan lain serta pembantu Jevano tidak ada yang berani melawan pria itu ketika ia murka.

Ia yakin kali ini tidak akan ada yang dapat meredakan kemarahan Jevano selain mengubah masa lalu.

"Tetapi itu tidak mungkin," desah Naville sambil menyandarkan punggung ke batang pohon besar itu. Tangannya terlipat di belakang kepalanya. Kakinya menjulur panjang di dahan tempat ia duduk. Matanya memandang langit biru di atas kepalanya.

Bagi Naville, tiada saat yang lebih menyenangkan daripada duduk di atas pohon di musim panas yang menyengat ini. Tidak ada yang peduli di mana ia berada. Ayahnya tidak akan mencarinya. Ia dapat menikmati waktunya di atas pohon sesuka hatinya dan sepuas hatinya.

Naville memejamkan matanya.

"Naville!"

"Naville, di mana kau?" Helena ikut-ikutan berseru memanggil.

Naville terkejut.

"Sudah kuduga kau ada di sini," Jilian menengadah sambil tersenyum puas.

"Ya, Tuhan," pekik Helena, "Apa yang kaulakukan di atas sana?"

"Tunggu sebentar," sahut Naville, "Aku akan segera turun."

"Tidak! Tidak!" Helena panik. Wanita yang tidak pernah terbiasa oleh kesukaan Naville akan memanjat pohon itu segera mendorong maju adiknya dan berkata, "Jilian akan menurunkanmu."

RATU PILIHAN [END]Where stories live. Discover now