7. Sial

4.2K 380 4
                                    

Jangan lupa vote, ya!

Happy Reading

***

Sungguh Hiden merasa bahagia hari ini, tempat kerjanya yang baru membuatnya sangat nyaman. Teman-temannya pun sangat baik hati dengan rela membantu Haiden yang bernotaben anak baru itu untuk menjalankan segala jobdesknya.

"Mau pulang bareng?" tawar Marcell kepada Haiden yang tengah mempersiapkan diri untuk pulang.

"Makasih, Bang. Haiden pulang sendiri aja," jawab Haiden, berusaha menolak secara halus.

Terbiasa hidup sendiri dan melakukan hal apa pun sendiri sejak kecil membuat Haiden selalu menolak bantuan kecil dari orang-orang yang berniat baik membantunya karena remaja laki-laki itu merasa ia bisa melakukan semuanya sendirian.

Namun, terkadang Haiden juga menerima bantuan dari orang lain jika dirinya benar-benar tidak bisa melakukannya sendiri, contohnya seperti mencari pekerjaan yang baru. Ia harus mendapat bantuan dari temannya—Eza.

Haiden tetap bersyukur atas bantuan yang diberikan, karena jika bukan Eza yang membantunya, siapa lagi? Dan jika bukan bantuan dari Eza mungkin saat ini Haiden tidak bisa makan.

Marcell pun tidak memaksa Haiden, ia menghargai keputusannya. Marcell juga merasa jika Haiden ini tipikal orang yang sulit bergaul dengan orang baru. Maka dari itu Marcell ingin mendekati Haiden secara perlahan, ia tidak mau membuat anak itu tak nyaman dengan memaksanya untuk pulang bersama.

"Oke deh. Oh iya, nomor whatsapp lo berapa? Biar gue save," ujar Marcell sambil mengeluarkan gawainya yang tersimpan di kantung belakang celananya.

Haiden menampilkan senyum tidak enak, Marcell pun menyadari hal itu.

"Ahh ... maaf kalau gue lancang langsung minta nomor lo yang pastinya privasi banget. Gue minta cuma buat nyimpen aja, siapa tau suatu saat butuh," jelas Marcell. "Kalau lo gak mau, gak masalah kok," lanjutnya.

Bagaimana, ya? Bukannya Haiden tidak mau memberikan nomornya kepada Marcell, hanya saja dia tidak mempunyai aplikasi online yang disebutkan oleh Marcell tadi.

"Bukan gitu, Bang," ucap Haiden melambaikan tangannya. Ia jadi tidak enak dengan Marcell, takut jika laki-laki itu menganggapnya sombong karena tidak mau memberikan nomornya.

Marcell masih menatap wajah Haiden yang terlihat panik, kedua alisnya pun bertaut bingung.

"Gue gak punya whatsapp," gumam Haiden, tetapi masih bisa didengar oleh Marcell.

Marcell pun tertawa mendengarnya. "Ohh, gak masalah dong. Lo punyanya apa? Line? Telegram?"

Aduh! Whastapp saja tidak punya, apa lagi aplikasi lain yang disebutkan oleh Marcell. Melihat logo aplikasinya saja Haiden tidak tahu. Haiden tahu logo whatsapp saja dari Eza karena temannya itu sering menggunakannya.

"Gak punya juga, Bang," ucap Haiden, malu.

Kali ini Marcell kembali menatapnya bingung. Masa iya, di zaman sekarang anak muda seperti Haiden tidak punya semua aplikasi itu sama sekali.

"HP Haiden bukan HP canggih kayak punya Abang," jelas Haiden menangkap raut bingung dari wajah Marcell. Ia pun mengeluarkan ponsel jadulnya dari tas yang ia bawa.

Marcell semakin terkejut melihat bentuk dari ponsel milik Haiden. Ponsel itu memang sempat booming pada masanya. Iya, pada masanya beberapa belas tahun yang lalu. Marcell ingat ponsel itu ada saat ia berusia kurang lebih 10 tahun.

HAIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang