SR - 12

126 24 5
                                    

Kalau boleh aku gendong, rasanya mau kuangkat Brisa di punggung. Tetapi ucapan ibu tirinya yang mempertanyakan sejauh apa hubungan kami, membuatku mengurungkan niat. Aku enggak mau ada laporan-laporan enggak masuk akal yang sampai ke telinga Mak Lampir itu.

Uhmm, gitu, kan, ya Brisa menamai Ibu Sambungnya?

Jadi sepanjang perjalanan kami menuju UKS, kekhawatiranku tumpah ruah menjadi pertanyaan tanpa putus. Sialnya dia enggak ngejawab sama sekali. Padahal screening awal terkait korban sangat dibutuhkan untuk memudahkan dokter jaga UKS memberikan pertolongan pertama. Supaya luka panasnya cepat ditangani dan enggak berbekas.

Gue sumpahin itu cewek-cewek centil susah jodoh karena udah jahat ke Brisa. Sial banget!

Tepat di depan pintu ruang UKS aku menahan langkah. Membuat Brisa yang hendak mendorong pintu UKS, tertarik mundur seiring aku yang menarik tanganku ke sisi tubuh.

"Brisa, aku nanya kamu." Kutatap dia dengan khawatir. "Bagian mana yang kena sup panasnya? Biar nanti dokter jaga enggak salah kasih tindakan."

Tetapi dasar dia keras kepalanya level seribu. Bukannya ngejawab, dia malah menghela napas kayak orang kelelahan sebelum menarik tanganku lagi dan mendorong pintu UKS hingga terbuka. Kemudian, dia mendorongku ke ranjang, membuatku jatuh terduduk. Kalau di film-film orang dewasa, sudah kutarik dia ke pangkuan dan kucium habis-abisan.

Ya ampun, ngebayangin nyium Brisa aja senangnya udah bikin berasa ada kupu-kupu di perut. Namun, bayangan itu langsung sirna begitu cibiran si Mak Lampir berkelebat lagi di benak.

"Dia kesiram air panas, Dok."

Perkataan Brisa ke arah dokter jaga membuatku mengerutkan kening. Terlebih ketika dia menoleh padaku dengan tatapan malas, dan helaan napas super lelah.

"Yang kesiram air panas tuh elo, bukan gue. Ck!"

Setelah mendengar ucapan Brisa barusan, entah mengapa aku merasa punggung berdenyut. Lalu aliran hawa hangat dengan pasti berubah menjadi panas secara perlahan. Sontak, segera kulepas kemeja karena kulit yang mulai terasa perih.

Damn! Aku baru ingat kalau tadi aku membentengi Brisa dengan punggung. Jadi, Brisa aman, aku yang enggak aman. Enggak apa-apa deh, selama gadisku aman. Tapi ini benaran perih.

"Dok! Panas!" Rintihku sambil berbaring telungkup dengan tergesa. "Cepet, Dok, ini perih banget!"

Lalu terdengar derap-derap gesit di lantai UKS. Aku memiringkan kepala sambil berdesis akibat perih, seraya menatap Brisa yang berdiri memunggungi. Kenapa dia enggak ngelihat ke aku? Rugi dia enggak ngelihat tubuh atletis nan keren kepunyaanku. Kalau cewek-cewek lain pasti sudah jejeritan dengan heboh.

"Dok!" Aku berseru lagi karena derap-derap gesit itu berlangsung kelamaan tanpa ada tindakan.

Enggak lama, derap itu mendekat. Lalu, ada sentuhan lengket yang membuat punggungku menjadi terasa dingin seketika. Rasa nyaman segera menjalari tubuh. Rasa dingin membuat perihku banyak berkurang.

Pandanganku masih pada Brisa yang kokoh berdiri memunggungi. Menatap kasihan dia yang terus mendapatkan masalah karenaku. Mulai sekarang sudah kutetapkan hati, untuk menjadikan musuh orang-orang yang memusuhi Brisa. Aku harus bisa menjaga gadis itu sebaik mungkin.

Namun, tekadku untuk selalu menjaga Brisa kapan pun, di mana pun, langsung mendapat rapot merah hari ini. Pasalnya, aku pulang lebih cepat karena punggung yang terasa sakit. Sebenarnya enggak rela meminta izin dan maaf pada Brisa karena enggak bisa mengantarnya pulang. Namun, saat kutawarkan agar Pak Raka datang menjemputnya nanti, Brisa menolak. Padahal dia enggak bawa sepeda, pasti lelah jalan kaki sendirian. Pasti kesepian. Aku enggak tega, tapi enggak bisa berbuat apa-apa lagi.

SWEET REGRETSWhere stories live. Discover now