Bab 1 - Dipo Segara Dkk

70 30 57
                                    

"Gila! Tangan Lo magic emang!" pekik Roy—temen SMA gue yang tiba-tiba main di kampus UNEMU. Roy itu suka hiperbola kalau masalah keahlian terpendam gue. Gue nggak mau menyombongkan diri, tapi bukan hanya bisa maket, tangan gue bisa moles segala bentuk macam media. Secara aja nih, maket depan kantor rektorat kampus gue yang bikin. Gue udah jadi langganan bapak-bapak yang punya kerjaan konsultan dan kontraktoran. Gue emang desainer lepas yang hebat tapi itu dulu, sebelum gue nemu arti cinta sama benda ini.

Benda ini cukup enak dalam genggaman gue. Serius, ini lebih enak daripada pegang tangan cewek cantik, janda kembang semacamnya. Itu sih beda cerita, kalau megang tangan mereka gue nggak perlu effort lebih. Karena wajah gue yang tergolong rupawan ini sulit tertolak. Gue Dipo Segara. Pangeran kampus UNEMA. Gue dan kegantengan gue udah kayak udel yang nempel terus.

Kalau gue cerita tentang kegantengan gue nggak cukup novel seribu halaman, alias nggak habis-habis. Nyaris perfek, kecuali satu ini yang bisa meruntuhkan keindahan gue. Razor yang gue dapet dari hasil bid murah di e-bhay. Gue nggak tahu bener apa nggaknya konstruksi pisau cukur ini terbuat dari logam yang berasal dari batu meteor, alias iridum yang lebih langka dan lebih kuat dari platinum. Tapi asli saat pegang tangkainya aja gue merasa kayak udah jadi level hokage antariksa.

Nggak Cuma itu, razor spesial ini berbahan batu safir. Batu safir yang dulunya gue tahu cuma buat hiasan cincin akik, juga berperan penting dalam razor spesial ini. Batu safir ditajamkan dengan teknologi khusus energi tinggi dengan partikel ion. Gue takjub. Cakep, razor spesial memiliki tepian yg digambarkan 5000 kali lebih kecil daripada lebar helai rambut secara otomatis anti alergi. Gue bener-bener manusia beruntung. Gue udah kayak ensiklopedia berjalan belum?

Salah satu hobi gue emang, menilik sampe sel-selnya. Akan tetapi, apakah dengan kepiawaian gue dalam banyak hal hidup bakal mulus dan menjadi real barber. Ternyata gue payah dalam hal ini. Sampai-sampai ambil sertifikasi barber ngulang tiga kali. Sialnya gue bukan orang yang pantang nyerah. Meski belum dapat sertifikasi gue nekat bikin usaha di tengah hiruk pikuk kota. Barber shop gue berada di gang sempit yang populasi bocil lebih banyak dari jumlah rumah. Jangankan mobil, motor aja cuma bisa parkir di luar. Tapi gue nggak hilang akal. Inget kan otak gue udah encer dari orok.

Gue bukan hanya barber biasa. Gue juga merangkap planologi dalam hal peruwuan. Jijay! niru omongan adek gue Din. Suara gesekan pintu karat sama ubin bikin telinga gue geli, Din alias Dinda Saphira masuk pakai baju yang bikin mata gua sakit. Masa iya, warna fanta dipaduin sama kuning lemon. Din udah hampir mirip kayak botol taperwar di etalase. Dia senyum-senyum tapi hati gue yang nggak enak.

"Bang Dip. Lo tahu nggak, gue habis bikin eksperimen."

Kan? Eksperimen dia nih yang bikin gue ngeri.

"Eksperimen apaan?" sahut Roy dari arah toilet. Satu lagi makhluk aneh yang terdampar di ruangan kecil ini. Roy sahabat gue dari SMA yang berotak udang tapi badan udah kayak roti sobek dimana-mana. Dia meraih bungkusan berisi roti mangkok berwarna fanta. Gue nggak tahu berapa kilo pewarna yang Din masukin dalam kue mangkok kecil itu. Ngeri banget!

"Bang Rooyyy, cobain dulu. kue ini terbuat dari sari buah naga!" Din otomatis langsung menyuapkan potongan kue itu tanpa permisi. Si Lemot Roy malah mangap.

Bibir Roy tiba-tiba berubah merah, lidahnya juga ikutan merah. Badannya tiba-tiba ambruk, tangan dempalnya nyabet meja sisir sampe botol parfum dan plastik ikut jatuh.

"Loh Bang Roy kenapa?" Din tanya gitu. Gue berusaha mengangkat tubuh Roy yang udah kejet-kejet kayak ulet teh ujung. Alamak, baru inget Roy pas SMA alergi buah naga. Sewaktu itu buah naga masih jadi most wanted saking mahalnya. Dia dengan pedenya makan satu buah dan bikin gue ngiler. Dewi kuan membuat dia persis kayak gini, gue nggak nyangka ternyata dia emang alergi beneran, gue kira cuma kualat.

"Din ambil air putih cepetan! Roy alergi!" kata gue. Din lari ke belakang sambil nyenggol rak dan semacamnya alhasil sapu yang tadinya berdiri ikut jatuh juga. Din kembali dengan botol minum warna fanta. Sumpah gue muak liat warna itu!

"Bang Roy jangan mati!" isaknya. Din itu emang berhati sensi alias dia cengeng. Akan tetapi kalau dia berubah warna, ruangan ini bisa kelar seisinya.

Gue tuangin perlahan air di bibir Roy. Dia uda mangap, tapi air tetep nggak bisa masuk secara utuh. Gue tepuk pelan-pelan punggungnnya. Akhirnya mendingan setelah minum air putih sedikit, tapi dia masih nggak bisa ngomong jelas. Lidahnya bengkak.

"Lo naruh buah naga berapa kilo sih di kue itu?" hardik gue.

Gue udah pasang lirikan anti damai eh Din malah sibuk maen handphone. Sialan tuh bocah!

Handphonenya udah berpindah di tangan gue. Dia nunduk sambil megang ujung baju  sesekali  mengusap air matanya. Gue tahu ini bocah cuma mau handphonenya balik.

"Bang Dip," dia merajuk, lalu mengusap matanya lagi,"nggak banyak kok Bang Dip, cuma tiga kilo aja. Soalnya kalau 1 kilo doang warnanya nggak cantik." 

"Lo tahu salah lo?" Din mengangguk, gue mendekat ke Din. "Lo udah lebih gila dari sebelumnya, kemarin hampir bunuh gue pakai kastengel warna tosca. Sekarang ..."

"Sorry Bang Dip, sumpah ini aslinya enak banget. Din udah habis 2 biji." Dia nyela omongan gue, salah satu keahlian Din yang lain, Dia harus selalu ke kanan.

Suara lonceng di pintu membuat kita menoleh. Sosok pria berponi menjatuhkan kantong belanjaan di tangannya.

"Habis ada perang antariksa?" tanya Eno—kapster termuda di barber shop gue. Eno ikut lemas melihat ruangan ini sudah menjadi kapal pecah. Dia menarik dua telinganya, lalu melipat ujung kemeja. Tangan kanannya meraih sapu dan pel yang jatuh di lantai. Dia kalau udah pegang kedua benda itu mirip banget sama Poseidon berponi. Dia sama air udah kayak best friend. Anti banget sama debu. Saking cintanya sama air dan karbol, badannya maju mundur ngikutin ritme tanpa peduli gue duduk di lantai. Kaki gue ikut kena pel. Bocah sialan!

Selang sepuluh menit suara pintu terketuk memecah emosi gue yang udah menguap. Gue lihat masih jam 7.10 WIB. Sepertinya ada customer baru. Eno segera menaruh pel dan membuka pintu tersebut dengan memasang senyum tiga jari. Wajahnya beranomali drastis kayak bunglon versi manusia. Gue yang tadinya duduk langsung berdiri.

"Apakah masih buka?" tanya pria kurus berbaju batik di balik pintu.

Kami mengangguk bersama. Roy juga sudah mulai bisa berdiri dan memasang senyum tiga jari meskipun bibirnya masih jontor, sedangkan Din diem-diem nyabet handphonenya di tangan gue. Sial!

Pria itu memasuki ruangan dengan senyum tipis lalu mengangguk setelah menatap kami bergantian. Eno mempersilahkan lelaki itu duduk di kursi.

"Apa fakta itu benar, jika saya pakai jasa barber magic true love, saya bisa mendapatkan informasi tentang cinta sejati serta pasangan hidup?"

Senyum gue sumringah.

"Benar, kami ahlinya," kata gue sambil memakai apron hitam bertuliskan, Barber Magic TL.


***

Kinz hanya bisa wkwkwkwkw, harusnya ini upload kemarin eh ketiduran.

Maklum mata sering tidak eksis ghes.

Semoga kalian terhibur ghes.

Meski cerita sudah garing kayak nasi di centong.

Salam tiga kata,

LOP U PULL

Barber Magic-TLWhere stories live. Discover now