Bab 3 - Dua Bilah Pedang

37 25 22
                                    

Selama hidup, baru kali ini gue ngerasain detak jantung yang bener-bener nggak sinkron sama detik jam. Ditambah air keringet bercucuran nggak kira-kira, basah banget sampe ketek gue ikutan basah. Untung aja aroma mint dari tubuh gue menguar. Masih sedep lah. Di samping gue ada Roy dan Eno. Mereka duduk dengan raut sama cemasnya kayak gue. Tapi nggak mungkin gue tunjukin, harga diri.

Berhubung Ustad, eh... Buya pemilik pesantren belum keliatan, jiwa ingin tahu gue merangkak naik. Gue berdiri berkeliling di ruangan yang katanya ndalem. Gue nggak paham kenapa disebut ndalem padahal ini bukan di jawa. Oke, ruangan ini cukup luas. Cukup banget kalau untuk futsal atau badminton. Ruangan ini sebenernya nggak horror, cuma kejadian tai kucing tadi bener-bener bikin horror. Kepala gue noleh-noleh ngeliat semua yang ada di ruangan ini. Gue akui ruangan ini unik, karena dindingnya pakai keramik warna-warni serta piring bertuliskan kaligrafi yang tertempel di dinding bahkan sampai atap. Aroma ruangan ini sama kayak lagi masuk toko-toko arab. Wangi banget. Namun ada satu benda yang menarik perhatian gue.

Benda itu berada di balik kaca gede banget. Dua bilah pedang, Man! Gue takjub, baru kali ini liat pedang klasik kayak gitu. Gagah. Pedang itu punya mata batu di bagian pegangan. Gue taksir sih, itu mata batu safir. Birunya hampir sama kayak batu safir di razor gue. Buru-buru gue ambil razor di dalam tas. Setelah ketemu, gue tempelin di kaca. Beneran sama persis batunya.

"Lo mau maling!" hardik seseorang dari belakang.

Saat gue noleh ternyata baskom berisikan potongan rebung dan bokong panci gosong sudah mendarat di wajah gue. Badan ikut ambruk. Mata gue kedip berkali-kali mencoba mempertahankan kesadaran. Dan yang terpenting, memastikan wajah ganteng gue baik-baik aja. Sial! ada bekas hitam kayak tompel persis di pipi kiri gue!

"Lo siapa? Masuk-masuk ke ruangan Buya tanpa ijin!" kata cewek berpanci hitam.

"Gue santri di sini, lo yang siapa? Hah! bawa-bawa panci gosong, bau rebung semua gue!" ujar gue. Cewek itu langsung natap gue tajem.

"Eh, lo itu nggak sopan, harusnya tahu adab buat masuk ndalem, malah lancang!"

"Lo juga nggak punya adab, ngapain nuduh gue maling, gue cuma..." seketika bulu kuduk gue meremang, karena ngeliat Buya Ilham ada di belakang cewek itu sambil bawa... dua bilah pedang!

Buya gosok-gosok dua bilah pedang itu pakai kain putih, salah satu bibirnya terangkat dan dia liat gue tajem banget. Sompret hidup gue!

"Namamu Dipo ya?"

Gue ngangguk terbata-bata. Lalu Buya tersenyum creepy, sumpah, jantung gue udah mau copot!

"Ambil pedang ini." Buya menyodorkan salah satu pedang ke arah gue. Gue noleh ke Roy dan Eno bergantian. Mereka cuma bisa hah heh hah heh. Sedangkan, si cewek rebung kampret itu juga liat ke arah gue sambil tersenyum miring. Pesantren ini freak!

Tangan gue gemeter pegang pedang itu. Berat banget.

"Kamu tahu, kenapa saya memberikan pedang itu?"

Gue menggeleng cepat, "Ti... tit... tidak tahu Buya."

"Apakah kamu tahu sekarang pukul berapa?"

Sontak gue langsung melihat jam di tangan. Kampret. Gue nggak pake jam tangan!

"Jam mana jam?" tanya gue ke Eno. Dia langsung kasih liat jam di dinding.

"Jjj..ja...jam dua belas Buya," jawab gue.

Buya Ilham mengangguk lalu dia jalan sambil geret pedang. Suara gesekan antara pedang dan ubin bikin gue makin panas dingin. Kampret, Kampret!

"Lantas? Kamu ... kalian tidak tahu sekarang waktunya apa?" tanya Buya lagi. Gue menggeleng cepat.

"Maaf Buya, sekarang waktunya salat dhuhur berjamaah," timpal Roy.

Buya tersenyum, "Salat jamaahnya sudah selesai . Saya yang mengimami, kalian tahu apa sanksi jika waktu yang kalian tinggalkan untuk menunggu saya di sini?"

"Buya yang menyuruh kami tunggu di sini," jawab gue.

Senyum Buya makin merekah, tapi sumpah senyumnya malah bikin gue nyes antara ada dan tiada.

"Mengapa kalian menurut untuk menunggu di sini? sedangkan adzan sudah berkumandang?"

Gue tertohok. Gue nggak bisa jawab lagi. Eno apalagi dia udah nunduk banget kayak keong yang masuk di cangkang. Mata si Roy malah berkaca-kaca.

"Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang akan datang. Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya. Menurut kalian, apakah kalian ada di antara pilihan itu?"

Gue bergeming, sumpah gue takut jawab, karena Buya udah makin deket!

"Be.. benar Buya," jawab Roy. Gue noleh ternyata pedang itu udah tinggal satu senti depan hidung gue. Sontak gue menangkis pedang itu sambil teriak, "ASTAGHFIRULLAHALADZIM, AMPUNI HAMBA YA ALLAH!"

GUE BENERAN NYEBUT YA TADI?

Buya menatap gue lamat-lamat. Pedang di tangan gue terlempar jauh. Jantung gue udah tinggal separuh.

Buya mengambil pedang yang gue lempar, "Kalian tahu apa persamaan waktu dengan kedua pedang ini?"

Kami geleng barengan.

"Waktu adalah pedang. Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu. Siapa yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya."

"Jikalau kalian ingin menjadi santri di sini, pergunakanlah waktu dengan baik."

Sejak saat itu gue beneran tobat, beneran.

***

WKWKWK OVERTIME BANGET INI YA HHA

SEMOGA BISA TAMAT

SALAM, JODOH DEKAT, MIAW!

Barber Magic-TLWhere stories live. Discover now