Satu

2.3K 361 27
                                    

Pukul ... sembilan, malam.

Aku mengalihkan tatap dari jam digital yang ada di nakas ke Naswa, atau Awa kami memanggilnya dengan sayang, putriku itu sudah tidur lelap di ranjang mungilnya.

Yah, sebagai ibu, nano-nano ya rasanya tiap melihat anak yang akhirnya sudah bisa tidur sendiri tanpa perlu pelukan, usapan, puk-puk, juga dongeng atau senandung dari kita. Kayak, iya sih senang, bangga, nggak repot juga. Tapi di sisi lain, kadang kangen sama masa-masa di mana dia kudu bergelendot dulu sebelum akhirnya bisa merem.

Waktu sudah berlalu secepat ini ternyata. Padahal rasanya kayak baru kemarin aku frustasi ketika Awa mulai ada di fase GTM sampai-sampai aku harus rutin melakukan konsultasi dengan psikolog secara online karena keadaanku juga ikut awut-awutan.

Tentu saja, tanpa suamiku tahu. Jangan dikira karena usia kami yang terpaut jauh lantas membuat suamiku kolot begitu, ya. Dia punya pikiran yang terbuka kok, itu juga kan yang pada akhirnya membuatku nyaman. Cuma ... aku nggak ingin membuatnya banyak khawatir.

Beberapa detik tatapanku masih terpusat pada Awa. Putriku ini, duh! Kloningan bapaknya banget, aku cuma kebagian di warna kulit aja. Bahkan dari caranya melirik orang, caranya mendengus atau sekadar mengunyah makanan, juga niru bapaknya banget. Benar-benar diborong.

Selimut gambar kartun Jepang kesukaannya itu aku angkat hingga bahu, satu kecup juga aku daratkan sebelum akhirnya menaikan suhu AC, mematikan lampu, lantas keluar menutup pintu.

Suamiku, tumben belum pulang. Petang tadi dia sudah kasih kabar kalau masih ada urusan. Dia nggak banyak cerita, sih. Cuma katanya, ada stafnya yang menyeleweng meminta fee tambahan dari customer atas pembelian yang tidak sedikit. Mungkin dia sedang menyidangnya sekarang, atau entah sedang ada agenda makan malam dengan teman-temannya.

Sekali lagi, dia nggak banyak bercerita dan aku juga nggak ingin banyak menuntut jawab. Bebas lah, terserah dia ingin apa dan bagaimana asal paham batasan. Aku nggak pernah ingin mengekang dia. Ya tadi, asal tahu batas, ingat anak istri, pulang tepat waktu, dan nggak main wanita, cukup. Syukurnya pun, sejauh ini aku belum pernah lihat atau dengar kabar suamiku berbuat aneh-aneh.

Ketika sudah masuk ke kamarku sendiri, aku segera meraih ponsel yang tergeletak di ranjang. Sesuai dugaan, beberapa pesan dari ayahnya Awa jadi yang teratas. Pertama, dia mengabari kalau bisa jadi akan pulang lebih malam. Kedua, dia menanyakan apakah putrinya sudah tidur. Lalu yang ketiga, terakhir, dia mengabari jika sudah akan pulang.

"Wi!"

Baru aja aku membatin kapan dia sampai, tetiba wujudnya muncul sekonyong-konyong.

Aku mendengus lucu, yang mungkin terlalu kentara karena selepas itu, satu-satunya pria yang tengah bersamaku itu mengeluarkan tanya.

Suamiku, Gunawan Haribowo.

"Kenapa senyum-senyum?"

Aku menoleh ke arahnya. "Nggak pa-pa, sih. Cuma kok kebiasan banget gitu, datang kayak hantu, nggak ada suara apa-apa tetiba udah muncul aja," setelahnya aku beringsut bangkit dari duduk, membenahi ranjang yang sedikit berantakan karena ulah Awa yang tadi bermain-main di sini.

"Ya masa kamu suruh sambil bawa barongsai."

Bapak-bapak dan guyon garingnya yang khas itu.

"Anaknya udah tidur?" Mas Gunawan bertanya lagi ketika mendapatiku yang cuma berdehem panjang.

"Baru aja, capek main-main kali. Ketiduran di sini tadi, aku nggak sadar, dia diem aja kirain fokus nonton, eh molor."

Terdengar sebuah kekehan setelah aku memberikan laporan singkat itu. Tubuhku berbalik, kini berhadapan dengan Mas Gunawan yang tengah melepas jam tangan lalu jaketnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ujung SemenanjungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang