(3) February

22 2 0
                                    

YTMCI Fanfiction
Note: Latar/karakter fanfiksi akan berubah seiring berjalannya prompt baru

•~•~•~•

Pukul lima sore waktu Dojo.

Seorang pemuda duduk di bangku panjang. Bangku yang berdiri di atas rerumputan bukit kecil. Di bawah bukit itu, ombak samudra mengalir amat deras. Sang pemuda berkutat dengan buku novelnya sambil menikmati kesiur angin menerpa wajah.

Dari luar bangunan Dojo. Datang seorang pria bersurai hitam kecoklatan mendekati bangku panjang

Tepukan pelan di bahu menyadarkan Samsul. Ia kaget gerangan Master Nevin tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya. Mengintip sampul novel yang sedang kubaca.

"Lagi baca apa?" suara rendah Nevin menginterupsi.

Samsul menunjukkan lebih jelas sampul buku di hadapan pria itu. Sebuah novel Slice of Life yang menceritakan tentang persahabatan dua orang.

Nevin mengangguk setelahnya. Kemudian, Samsul menginterupsi balik dan bertanya pada Nevin.


"Baca Novel ini, Samsul jadi keingat Master dan Alvin. Oh iya, kalau boleh tahu, Master Nevin pertama kali ketemu Alvin itu ceritanya gimana, sih? Boleh ceritain ke Samsul nggak?" Mata Samsul berbinar-binar. Entah kerasukan apa anak ini meminta Master Nevin menceritakan masa lalunya dengan Alvin. Sepertinya efek setelah membaca Novel.

Terbawa lagi ke masa itu. Lima puluh tahun lalu. Kali pertamanya menginjak dunia pendidikan. Sekaligus menjadi kali pertama pertemuan dua pemuda yang kini mengabdikan hidupnya di Atlantia.










































































•~•~•~•

Lima puluh tahun yang lalu ....

Seorang anak laki-laki berpotongan rambut mangkuk berjalan di antara puluhan anak-anak di lapangan. Jemari kecilnya menggenggam tangan seorang wanita paruh baya. Beriringan menuju sebuah kelas yang berada di ujung kanan.

Lapangan amat ramai. Riuh anak kecil berlarian di mana-mana. Seruan ibu-ibu yang menegur anaknya tak luput dari pandangan.

Sesampainya di pintu kelas. Seorang wanita berkenakan seragam dan rok serba coklat memandangi kami yang baru datang. Tangannya terlambai. Gigi gingsulnya tampak jelas begitu sunggingan senyum merekah lebar.

"Halo! Yuk, gabung ke dalam." Wanita itu menyalami Ibuku. Kemudian mengantar kami ke sebuah bangku yang sudah ditentukan.

Saat sudah di bangku, mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang anak laki-laki yang duduk berhadapan di seberang bangkuku.

Di saat semua anak datang di hari pertama mereka bersama Ibu dan Ayah. Anak yang satu itu berbeda. Dia duduk sendirian di antara anak-anak lain yang ditemani orangtua mereka.

Kami berhenti bertatapan ketika Ibu mengajakku bicara. Beliau memberiku wejangan untuk tidak menjadi anak yang nakal dan berbuat macam-macam selama di sekolah. Barulah setelah itu, para orangtua dipersilakan meninggalkan kelas sementara perkenalan akan segera dimulai.

Perkenalan diurut dari nomor absen. Seorang anak yang sendirian tadi maju paling pertama. Dia memperkenalkan diri dibantu oleh guru-guru yang mendampingi kami.

"Hai ... namaku ... Alvin." Anak itu malu-malu melambaikan tangan.

Perkenalan selesai tepat di waktu jam istirahat. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Beberapa menghampiri orangtuanya, menceritakan keseruan kami selama di kelas. Beberapa lagi pergi ke taman bermain.

Aku melihat Alvin berdiri di samping ayunan. Menatapi seorang anak gadis yang sedang bermain di sana bersama ayahnya.

Tanpa Alvin duga, aku sudah berdiri di sebelahnya. Menepuk bahunya pelan. Melambaikan tangan.

"Hai, Alvin!" sapaku ramah.

Beberapa detik, Alvin bengong menatapku. Setelah itu ia tersenyum dan membalas melambaikan tangan.

"Hei, kamu pingin main ayunan itu, ya?"

Alvin menoleh kembali ke ayunan yang dipakai si gadis. Dia menggeleng ke hadapanku.

"Kalau gitu, main sama aku aja, yuk!" Tanpa menunggu balasan Alvin, aku langsung menarik tangannya dan membawanya ke ayunan panjang yang berada di dekat pagar masuk.

Di sana, aku melihat Ibu tersenyum ke arahku. Sepertinya dia senang melihatku cepat akrab dengan teman-teman di kelas.

"Ngomong-ngomong, namaku Nevin, salam kenal, ya!" Aku memperkenalkan diri, lagi. Barangkali dia lupa atau tidak memperhatikan saat perkenalanku.

Alvin sekali lagi hanya tersenyum. Kami berdua duduk di ayunan panjang.

"Kamu sendirian?" Aku bertanya lagi.

Alvin bergumam, "i... iya. Aku pergi bersama Nenek, tapi beliau harus pulang karena pekerjaannya di sawah."

Aku ber-oh ria. "Kalau orang tuamu? Ke mana mereka?"

"Mereka ... sudah tidak ada."

Aku diam seribu kata. Hatiku mencelos saat itu juga.

"Orang tuaku telah pergi sedari aku berusia dua tahun. Aku ... tinggal bersama Nenek dan Paman," jelas Alvin bersuara rendah. Ia kembali menoleh pada seorang gadis kecil yang sekarang berpindah ke mainan jungkat jungkit. "Aku iri sama dia. Kelihatannya seru banget, ya, main bersama Ayah. Sayang, aku nggak akan bisa melakukan hal seperti itu."

Beberapa detik kami dilingkupi oleh suasana canggung. Kemudian aku kedua meraih tangan Alvin sambil tersenyum tulus.

"Hei, kamu bisa main sama aku, kok! Anggap aja aku saudaramu. Kapan-kapan, aku akan ajak kamu ke rumah aku, kita main bareng-bareng, tamasya bareng. Pokoknya, aku akan selalu jadi teman kamu!" Aku mengadahkan kedua tangan ke atas. Senyumku yang masih tersungging menular ke Alvin. Dia ikut tersenyum sekarang.

"Terima kasih, Nevin."


























































•~•~•~•

"Ya ... begitulah pertemuanku dengan Alvin. Tidak disangka, pertemanan kami berjalan hingga setengah abad."

Nevin menutup ceritanya sampai di situ. Matanya menilik ke samping. Samsul rupanya ketiduran selama Nevin menceritakan masa lalunya. Novel yang digenggam anak itu dijadikan penutup mata dari silaunya matahari senja.

"Hadeh, dasar bocah."

MONTHALOGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang