Satu

9 3 0
                                    

“Kebiasaan, sia, mah.”

Yang lebih muda hanya menghela napas lelah, bosan mendegar keluhan sang kakak selama perjalanan menuju puskesmas.

“Udah di bilang kecelakaan, Teteh,” ujarnya kesal, menatap sinis sang kakak.

Yang lebih tua kembali melotot, menoyor kepala si muda guna melampiaskan kekesalannya. “Makanya kalo Bunda bilang jangan ya jangan, maneh badung pisan, Oste.

Teing, ah. Yang penting menang,”

Aing tinggal mampus, sia,

Oste nyegir lebar, “Hehe, jangan atuh Teteh cantik,”

Meta bergidik ngeri. Ia menghiraukan ucapan sang adik, lalu mempercepat langkah nya menuju IGD.

Kebetulan saat sepasang kakak beradik itu sampai sedang ada dokter jaga, jadi langsung saja Meta menyerahkan adik badung nya pada dokter. “Suntik mati aja, dokter.”

Oste melotot horor, “Teteh, mah,”

Dokter yang menerima uluran tangan Oste sedikit tergelak, “Saya suntik rabies aja ya,”

“Nah, ide bagus.”

“Dokter biadab, gak temenan lah, kita.” Oste buang muka, sebel dia tuh.

Dokter dengan name tag Sean Alfariji itu kembali terkekeh, cukup terhibur melihat dua ponakan nya yang selalu saja tidak pernah akur itu.

Benar, dokter tersebut merupakan Paman  dari pihak Ayah mereka yang memang bertugas di puskesmas daerah tempat mereka tinggal.

“Oste gak sopan, gak Om kasih uang lagi, kamu,”

Oste melotot lagi. Apa-apaan katanya, tidak akan Oste biarkan sumber uang jajan kedua nya ini hilang, “Becanda, Om ganteng.”

“Dih, bener kata kamu, Meta. Suntik mati aja, ya,” Meta mengangkat jempolnya tanda sangat! setuju.

Berikutnya Meta dan Dokter Al tertawa keras melihat ekspresi kesal Oste, menggoda Oste itu menyenangkan. Sebab Oste akan sangat manja jika sedang bersama keluarga nya.













Oste terus merengek, mengadu pada sang Bunda perihal badan nya yang terasa remuk. Rengekan itu terus terdengar hingga berjam-jam lamanya, anak itu bahkan tidak mau di tinggal barang sedetik 'pun.

Muak, Meta muak pemisra!

Karena kepalang bosan, Meta bangkit dari acara duduk cantiknya sambil bersenandung keras.

“MUAAAAAKKKK, AKU MUAAAK~”

Teteh, jangan berisik atuh. Kasian si adek nya baru bobo,” ujar si Bunda cantik.

Agak nya pusing melihat kelakuan kedua anaknya, yang satu senang meledek dan yang satu manja sekaligus doyan mengadu.

Meta nyegir, “Hehe, hampura, Bunda cantik. Abisnya kesel liat si adek tambah manja kalo sakit.”

Bunda geleng-geleng, “Sakit gak sakit tetep sama ah manja nya,”

“Iya juga sih,” Meta pasang muka julid.

Dulu Ayah nya cerita kalau sewaktu Bunda nya hamil Oste manja nya gak ketulungan, sampai mau pipis 'pun susah. Jadi si Ayah gak heran kenapa anak bungsu nya bisa semanja itu sama kedua orangtua nya.

Beda lagi ketika hamil si sulung, Ayah nya bilang bahkan Bundanya tidak ada mengidam yang macam-macam. Ia hanya ingin bakso bentuk gunung, habis itu sudah tidak mengidam lagi.

Teteh gak ada kelas?” lamunan Meta buyar begitu mendegar suara halus Bunda cantiknya.

Lantas ia cepat-cepat menggeleng, “Enggak, Bunda. Nanti sore.”

“Yaudah, Bunda minta tolong jagain adek nya bentar, ya. Bunda mau ke pasar, kebetulan ada pesanan,” pamit Bunda sambil tersenyum cantik seperti biasa.

Berpikir Bunda nya takut kelelahan, Meta inisiatif menawarkan diri, “Biar Meta aja yang belanja, Bunda.”

“Terima kasih  sayang. Tapi gak usah, ya, Bunda cuma sebentar,” Meta mengangguk patuh.

“Bunda pergi dulu, nanti kalo adek bangun di kasih minum, ya, takut dia haus,” Meta mengangguk lagi, lalu meraih tangan sang Bunda untuk salim.

“Hati-hati, Bunda cantik.”

Meta menutup pintu rumah nya, berjalan menuju dapur karena merasa sedikit haus ia juga mengambil kan untuk Oste.

Lalu remaja semester empat itu menuju kamar adiknya sambil membawa gelas berisi air putih di tangan kanan.

Membuka pintu dengan sepelan mungkin, dan mendapati Oste yang masih terlelap dengan dahi mengerut. Pasti lagi mimpi perang sama ultragirl, ni anak.

Memilih meletakan air tadi ke atas nakas, lalu duduk di samping adik nya. “Adek badung,”

Usapan kecil Meta berikan di tangan Oste sebagai penutup siang itu.









Teteh minta heleeep!” teriakan nyaring itu menggelegar di penjuru rumah.

Pelaku nya tak lain dan tak akan meleset ialah kedua kakak beradik yang sedang di tinggal pemegang tahta tertinggi di rumah ke pasar, yep Bunda.

Meta yang memang sedang ada di ruang tv segera menuju ke pusat dimana teriakan membahana itu berasal.

“Nih,” ujar nya, sambil menyerahkan helm buluk milik Ayah nya.

Bukan nya langsung di ambil, Oste malah ngebug terlebih dahulu, “Hah?”

Meta menghela napas lelah, “Tadi katanya minta helm,”

“Oh,” Oste mengangguk, “Bukan helm anjeng, Teteh. Heleeeeep, bahasa enggres. Yeuu, teu bisa nya, sia?!”

Dengan kesabaran setipis tisu di belah tiga, Meta menjitak kepala adik nya, “Itu help monyet, bukan heleep,”

Oste nyegir tanpa dosa, “Ya sama aja, ah,

Meta cuma bisa tersenyum seperti logo kumon ngadepin sifat asu adik nya.

Hayang, naon?

“Bunda kemana, Teh?”

“Ke pasar, ada pesanan,” Oste mengangguk.

Pantas saja ketika anak itu membuka mata, tidak ada sang Bunda di samping nya.

Mum, teu?”

Oste mengangguk singkat, “He'em,” sahutnya.

Meta dengan gesit membantu adik nya minum, ia kembali menaruh gelas yang sudah hilang setengah itu ke nakas.

“Astaga!” tiba-tiba Meta menjerit.

“Kaget, Teh,” ujar nya kesal, “Kunaon?”

Tak sempat menjawab, Meta lebih dulu lari terponggoh-ponggoh menuju dapur.

Meta lupa sedang masak mie, habislah mie nya benyek.

Tbc

Gimana chapter pertama nya?

Seru gak?

Aku sedikit campur pake bahasa sunda yang ku bisaa hehe, aku bisa nya sunda kasar, tapi kaya enak aja di ucapin nya.

Oh ya, kalian suka karakter siapa di chapter pertama ini?

Oste?

Bunda?

Teh Meta?

Dokter Al?

Komen yaaaaa

jangan lupa vote nya, centing ⭐

See you nex chapter

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Sep 04, 2023 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

PulchraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon