Bab 40

50 13 2
                                    

Menjadi "pahlawan" tidaklah mudah. Kupikir aku telah memahaminya sejak dulu. Nyatanya, seiring berjalannya waktu, kadar kesulitannya justru bertambah.

Setelah pembiasaan diri yang cukup intensif terhadap permata sihir, aku mulai bisa mengabaikan serangan-serangan batu dari Jacob dan memfokuskan diri untuk menarik kekuatan pusaka. Daripada marah dan merasa terganggu, aku memilih memejamkan mata serta mencurahkan perhatian terhadap kehangatan dan gelenyar energi yang terpancar. Kemudian, dalam hitungan detik, pelindung pun terbentuk di sekitarku dan Beast.

"Akan lebih baik kalau kau bisa membuatnya lebih cepat," Jacob menasihati. "Kau sudah mati duluan kalau aku sungguhan menyerangmu."

"Setidaknya hargailah usahanya," Beast menegur tajam.

Jacob menghela napas keras-keras. "Iya, deh, dia hebat. Puas?"

Aku tahu nagaku sedang menatap Jacob dengan sinis, barangkali siap menerkam pria itu. Tapi kali ini dia memilih mengacuhkan sindiran Jacob.

Setelah meredakan sihir yang sebelumnya terpancar, aku membuka mata dan menghela napas lesu. "Jacob benar. Aku perlu latihan lebih keras."

"Tapi ini juga sudah bagus untuk latihan dalam waktu dua hari," Beast meyakinkan. Kelembutannya yang tidak biasa itu membuat dahiku mengernyit dalam.

"Astaga," aku menaruh kedua tangan di pinggang, "apa kau sungguh Beast yang pernah mengataiku macam-macam saat latihan pedang supaya aku lebih bersemangat bertarung?"

Beast pasti ingin membalas sesuatu. Wajah datarnya sudah menunjukkan kejengkelan tak terkira. Karena tak tega mengoloknya terus, akhirnya aku mengalah duluan, "Baiklah, terima kasih untuk dukunganmu. Jacob memang benar kalau aku harus berlatih lagi, tapi, yang kau katakan juga tidak salah."

"Nah, apa susahnya berterima kasih," gerutu Beast.

Jacob kembali mengumpulkan batu. "Kita akan mulai lagi," dia mengumumkan. "Bersiaplah."

Menanggapi serangan berikutnya masih tidak begitu mudah. Bukannya semakin lihai, aku justru dibuat kian sakit kepala oleh nyanyian para leluhur naga. Ditambah batu-batu yang mengenaiku mulai memecah konsentrasi.

"Aku tahu nyanyian itu terdengar melelahkan, tapi jangan menganggapnya sebagai gangguan," Jacob menasihati sambil melempar batunya. "Anggap saja nyanyian para leluhur sedang menyertaimu."

Kurasa aku perlu meminta maaf kepada para leluhur naga, karena sejujurnya nyanyian mereka yang dulunya terdengar menenangkan kini amat mengganggu. Aku pernah mendengar soal musik tertentu yang bisa membuat orang gila jika didengar terus-menerus. Barangkali nyanyian ini bisa menjadi salah satunya.

Ketika pelindung sihir akhirnya terbentuk, Jacob malah kehabisan batu. Kupikir dia akan memberiku waktu istirahat, tetapi dia malah menoleh ke arah Varos, mempersilakan sang naga untuk menyerang.

Ekor hijaunya yang semula berjumlah satu kini terbagi menjadi beberapa ekor yang lebih kecil bagaikan tentakel, namun menyerang dengan kecepatan tinggi dan bisa saja mencekikku dan Beast. Untunglah ekor-ekor itu menabrak pelindung tak kasatmata.

"Pelindung yang kuat," Varos memuji sementara ekornya masih meraba-raba untuk mencari celah. Berhubung itu tidak cukup, sang naga kemudian bergerak gesit ke arah kami.

Beast berdiri di depanku seolah dia mampu menahan terkaman sang naga ladre. Aku tersentak mundur tetapi benakku terus memegang kendali atas sihir sehingga perisai bergeming ketika diinjak Varos. Naga itu mengentakkan kakinya di atas kami, mencari-cari sisi yang bisa diserang.

"Konsentrasi, Cassie," Beast mengingatkan sementara matanya mengikuti pergerakan Varos. "Aku tidak ingin mati konyol."

Varos mencakar-cakar pelindung dengan keganasan yang tak tanggung-tanggung. Ekornya menyebar ke segala arah, siap memberi kami pelukan maut apabila pelindung sampai hilang. Semakin lama dia berada di atas sana, semakin lama juga aku harus mempertahankan pelindung, yang mana bukan usaha mudah. Rasanya seperti menahan beban yang terus menghimpit sangkar dadaku.

Iltas 3: A Dance of Fire and SorceryWhere stories live. Discover now