20. Bukan Salah Aiden

656 110 0
                                    

Saat ini Aiden berada di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya. Mereka seakan-akan tengah menginterogasi bocah kecil itu. Jika dalam imajinasi Aiden, Raka dan Jean sebagai polisi, sementara dirinya sebagai penjahat. Orang tuanya bertugas mengeksekusi pertanyaan-pertanyaan yang telah diperbuatnya sebelum nanti akan ada sesi hukuman sebagai bentuk pembalasan.

"Bunda tanya sekali lagi. Ngapain adek sama anak-anak lain pake segala ngumpet di masjid? Suka bikin bunda sama ayah khawatir, hah?"

Aiden menunduk takut. Untuk bersitatap muka dengan Jean, rasanya tidak mampu. Ia terlalu takut, apalagi saat melihat sang ibunda sudah tersulut amarah.

"M-maaf bunda ...." Ia berseru dengan suara lirih menahan tangis. Mengakui kesalahannya di sini seperti apa.

"Bunda nangisin adek karena ngira adek diculik. Bunda hampir aja gila pas sadar kamu gak kunjung ketemu, bahkan hampir beberapa jam lamanya. Bunda pengen adek janji sama bunda sama ayah, adek gak boleh ngelakuin ini lagi, paham?"

Aiden mengangguk pelan. "Paham, bunda."

Jean menurunkan pundaknya yang sempat terangkat sedikit. Beranjak pindah dan duduk di samping Aiden yang masih menunduk. Ia memeluknya dari samping, yang mana berhasil mendatangkan tangisan dari anak itu. Aiden membalas pelukan sang bunda. Naik ke pangkuan Jean guna menyembunyikan wajahnya di pundak sang ibu dengan tangisan keras.

Jean tertawa kecil. Mengusap punggung Aiden yang bergemetar akibat ketakutan karenanya. Ia melirik ke arah sang suami yang sedari tadi diam menyaksikan. Dan dari tatapan Jean tersebut, Raka langsung mengangguk paham.

Pria itu meninggalkan ruang keluarga. Masuk ke dapur guna mengambil sesuatu. Membawanya kembali ke tempat istri dan anaknya berada dengan sesuatu di belakang tubuhnya.

"Dek, lihat ayah. Ayah mau nunjukin sesuatu sama adek," titah Jean lembut. Namun, Aiden menggeleng. Membuat Jean tersenyum untuk kesekian kalinya. "Yakin, nih? Nanti nyesel loh."

Anak itu menoleh ke belakang disertai sesenggukan. Melihat eksistensi sang ayah yang berdiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang tubuh. Wajah Aiden sudah memerah, dengan cairan bening yang sedikit keluar dari dalam hidung. Siapapun akan merasa gemas oleh anak tunggal Prayogo itu.

"Tada! Puding pesawaaat!" Raka langsung menunjukkan sesuatu di belakang tubuhnya dengan heboh. Puding berwarna biru muda itu dibuat berbentuk pesawat. Tampak sangat cantik dari tampilannya.

Namun, Aiden hanya menatap tak minat oleh apa yang ditunjukkan sang ayah. Kembali menghadap depan dan membenamkan wajahnya di dada sang ibunda dengan isakan-isakan kecil.

Raka meletakkan pudingnya di atas meja. Ikut duduk di sebelah Jean lalu mendekatkan badannya guna mencium pucuk kepala sang putra. "Adek jangan sedih, dong. Ayah ikut sedih, nih, kalau adek jadi pemurung gini. Apalagi biasanya adek mau makan puding buatan ayah, tapi sekarang masa gak mau? Apa harus ayah kasih aja pudingnya buat kak Nanda?"

Aiden menoleh ke arah Raka dengan sudut bibir melengkung ke bawah. "Jangan!" ujarnya menyalak. Hal itu membuat Raka dan Jean sama-sama terkekeh renyah.

"Yaudah, sekarang turun terus dimakan, sebelum ayah kasih ke kak Nanda."

"Apaan manggil-manggil gue?" Nanda muncul sembari menenteng bungkusan plastik berwarna hitam di tangan kanannya. "Wihh ... puding!"

"Jangaaaaaan! Itu punya Aiden!" Anak itu langsung bergegas turun dari pangkuan Jean guna menyelamatkan pudingnya dari Nanda.

"Bagi sama kakak, dong. Gak boleh pelit. Nanti bundanya kakak nikahin loh."

Raka langsung berdiri dari duduknya. Memberi tatapan membunuh kepada Nanda. "Ayo, serang hama pengganggu, dek!"

"SERAAAAANG!"

"Heh, berhenti, astaga!"

Prayogo FamilyWhere stories live. Discover now