22. Lembur

714 113 3
                                    

"Hahh ...."

Helaan napas yang kesekian kalinya. Raka saat ini sedang sibuk menghadap layar laptop. Sembari menopang dagu, sorot matanya bekerja membaca setiap tulisan yang ditampilkan di dalam layar yang tengah menyala itu.

Beberapa tumpukan map beserta kertas, berserakan di atas meja. Ia sesekali menguap. Sungguh amat lelah rasanya. Raka ingin pergi istirahat, tetapi pekerjaannya masih menumpuk, sedangkan semua harus selesai besok. Belum lagi Raka harus memahami isi file yang dikirimkan oleh sekretatisnya untuk pertemuan rapat besok bersama klien dari luar negeri. Raka harus bekerja ekstra di pukul sepuluh malam ini.

Cklek

"Ayah, adek izin masuk, ya?"

Raka mengalihkan atensi. Kini tatapannya tertuju pada bocah menggemaskan yang barusan membuka pintu ruang kerjanya. Anak semata wayangnya itu masih berdiri di ambang pintu guna menunggu sang ayah memberi izin kepada dirinya untuk masuk.

"Masuk aja, Sayang. Kok belum tidur, di mana bunda?"

Aiden menutup pelan-pelan pintu ruang kerja sang ayah. Bocah itu berjalan menghampiri sang ayah, melihat kegiatan yang sedang Raka lakukan sampai membuat pria itu menolak untuk menonton televisi bersama seperti biasa.

"Tadi adek udah bobo, bunda kelonin adek, tapi bunda yang bobo di kamarnya adek."

Raka terkekeh geli, sudah tidak heran lagi bila istri cantiknya itu suka ketiduran disaat sedang menidurkan sang putra. "Nggak papa, biarin bunda istirahat. Adek sekarang bobo gih, bobo di sini aja kalau di kamar adek nggak muat," tuturnya kembali menatap laptop. Kini jemari-jemarinya bergerak lincah menekan tuts di papan keyboard.

Aiden melangkah menghampiri Raka. Kini berdiri di samping kursi kerjanya. Bocah mungil itu naik ke atas pangkuan sang ayah, membuat Raka segera mengangkat tubuh sang anak.

"Ayah kerja, ya?"

Raka tersenyum sebagai respons. "Iya, Adek. Ayah lagi kerja, nih. Adek bobo aja, besok sekolah."

"Nggak mau, pengen nemenin ayah."

"Ayah bentar lagi selesai kok. Adek kalo nggak tidur, besok bangunnya susah.  Mau nanti bundanya marah?"

Aiden menggeleng cepat. Membuat Raka mengacak-acak gemas rambut hitam sang putra yang terasa halus di telapak tangannya.

"Makanya bobok kalau nggak mau liat bunda marah. Ayah nanti nyusul."

"Tapi maunya dipuk-pukin sama ayah," ucap anak itu setengah merengek. Raka menghela napas. Pekerjaannya masih terbilang banyak, tetapi sang anak tidak bisa diajak kerja sama untuk menurut saja sekali ini.

Raka ingin berdiri sambil membawa Aiden di gendongannya. Bertepatan dengan itu, pintu ruang kerja Raka terbuka. Pelaku yang barusan membuka pintu adalah istrinya, Jeanzel. Pria manis itu tersenyum tipis melihat suaminya masih berdiri sembari menggendong Aiden.

"Maaf aku tadi ketiduran." Jean berseru penuh penyesalan. Ia mendekat hendak mengambil alih Aiden dari gendongan sang suami, tetapi bocah itu memberontak.

"Nggak mau! Adek mau dipuk-puk ayah!"

"Adek ... Ayah lagi kerja loh itu, sama bunda ya, Sayang. Jangan ganggu ayah dulu."

Aiden menggeleng ribut. "Nggak, nggak, nggak, adek mau sama ayah!" rengeknya sembari memeluk erat leher Raka.

"Nggak papa, Sayang. Aiden biar sama aku aja. Kamu ke kamar gih, tidur."

"Mas Raka, tapi kerjaan kamu—"

"Nggak papa, Sayang. Ntar aku lanjut, kalo capek bisa dilanjut nanti pas subuh."

Jean menatap sendu kepergian Raka bersama sang anak. Mau bagaimanapun, Jean tetap tidak enak. Pekerjaan suaminya lagi super padat, jika ditunda takutnya takkan,terselesaikan. Jean ingin membantu, tapi Ia tidak mau mengacaukan pekerjaan Raka karena dia sama sekali tidak mengerti perihal perusahaan.

Jean tak menuruti perintah Raka yang memintanya untuk pergi tidur. Pria manis satu anak itu mendudukkan dirinya di kursi sofa panjang yang ada di dalam ruang kerja suaminya.

Sampai beberapa saat kemudian, Raka kembali. Ia dikagetkan dengan keberadaan Jean yang Ia kira akan kembali ke kamar mereka. "Sayang, aku minta apa ke kamu tadi?"

"Aku mau nemenin kamu. Udah jangan banyak protes, kamu kerja aja, nggak usah peduliin aku, aku pokoknya mau di sini."

Raka menarik napasnya sedalam mungkin, lalu diembuskan perlahan-lahan. Ia sedang tidak imgin berdebat kecil dengan Jean. Rasa lelah dan kantuk bercampur menjadi satu, untuk itu Raka lebih memilih membiarkan Jean yang mengatakan ingin menemaninya katimbang pergi tidur duluan.

Raka kembali berkutat dengan pekerjaannya. Sesekali pria itu mengurut keningnya akibat harus menahan kantuk dan pusing bersamaan. Jean tak tega melihat suaminya seperti itu. Pada akhirnya Jean berdiri, membawa kursi yang ditempatkan di samping meja kerja Raka.

"Kamu kasih aku arahan apa yang harus aku lakuin. Kita bagi tugas. Kamu di laptop, aku di berkas. Yang berhubungan dengan dua-duanya, kamu bisa bilang dan kasih arahan."

Raka bersiap memprotes, akan tetapi Jean langsung mendekatkan tubuhnya, mencium sekilas bibir tipis itu agar tidak bersuara. "Nurut sekali bisa nggak sih?"

Pria itu mengembangkan senyuman. Ia saat ini sedang memikirkan satu hal, yaitu keberuntungannya menikahi manusia berhati malaikat seperti istrinya ini. Jika boleh jujur, dari awal Raka memang sudah tak sanggup lagi bila mengerjakan pekerjaannya seorang diri, ditambah malam semakin larut. Kondisi Raka yang dibersamai kantuk membuat kepalanya sangat pusing, dan istri manisnya ini dengan memaksanya agar mengizinkannya untuk membantu, meskipun harus diarahkan terlebih dahulu.

"Kamu bagian tanda tanganin berkas-berkas itu, bisa? Pakai tanda tangan kamu aja nggak papa."

"Gampang." Jean langsung mengambil pulpen. Si manis itu mulai mengerjakan tugasnya menandatangani berkas yang jumlahnya begitu banyak. "Ini aku kayak lagi ngasih tanda tangan ke penggemar, hahahaha!"

Raka terkekeh ringan. Ia menatap teduh wajah manis nan cantik di depannya saat ini. Bagaimana ketika Jean tersenyum lantaran diberi izin membantu sang suami, bagaimana ketika Jean bereaksi penuh semangat karena tugas pertamanya membantu sang suami. Untuk sesaat, Raka merasa dirinya adalah pria paling beruntung dapat memiliki Jean. Ia tak henti tersenyum lebar memandangi paras ayu yang dimiliki Jeanzel. Raka tak pernah menyesal sedikitpun telah mengenal Jean, dan Ia berkomitmen akan senantiasa terus bersama sampai mautlah yang menjauhkan mereka.

"Mas sayang kamu, Jeanzel Hatta Prayogo."

Jean melirik sang suami. Keningnya tampak berkerut. "Dih, marga aku Prawira, ya!" protesnya.

Raka terkekeh, mengacak-acak surai hitam sang istri. Ia mendekatkan diri guna mencium kening Jean. Ia tak berucap apa-apa. Hanya ingin menyalurkan perasaan sayangnya melalui kecupan yang terkesan singkat itu.

"Aku juga sayang kamu, Mas Raka."

Jean membalas ucapan yang sempat tertunda tadi karena gurauannya.

Prayogo FamilyWhere stories live. Discover now