01

178 30 16
                                    

HAPPY READING!!!

*****

Jam istirahat kedua Fajri pergi ke ruang BK karena kata temannya tadi bu Ani mencarinya. Mungkin akan membicarakan perihal beasiswa masuk perguruan tinggi, tahu sendiri Fajri adalah salah satu murid berprestasi di sekolahnya.

"Fen gue pergi dulu ya, kalian duluan aja ke kantin. Entar gue nyusul kalau ada sisa waktu," pamit Fajri diangguki oleh Fenly yang tengah membereskan bukunya.

Fajri berjalan dengan santai menuju ke ruang BK sesekali menjadi objek perhatian siswa perempuan yang tidak sengaja melihatnya, siapa yang tidak terpana dengan ketampanan seorang kapten basket yang sudah pensiun itu.

Dugaan Fajri benar, ia dipanggil ke ruang BK untuk membicarakan mengenai beasiswa perguruan tinggi, senang tapi sedih juga bagi Fajri. Fajri yang sekarang bukan Fajri yang dulu serba ada dan kecukupan. Walaupun nanti ia bisa dapat beasiswa, tetap saja kebutuhan sehari-harinya adalah tanggung jawabnya. Bagaimana jika nanti tiba-tiba nilainya anjlok, pasti langsung dicabut beasiswanya.

Penuh dengan pikiran negative berputar-putar dikepala Fajri, padahal belum dilakukan dan belum tentu terjadi. Setakut itu dia sekarang tentang keuangan.

Hampi 15 menit bu Ani memberikan pengertian kepada Fajri dan berharap ia dapat menggunakan kesempatan yang ada.

"Pikirkan dulu baik-baik, ini kesempatan yang bagus buat kamu," ujar Bu Ani

"Terimakasih Bu!" ucap Fajri kemudian pamit dan pergi meninggalkan ruangan BK.

Jujur perasaannya saat ini bingung dan dilema harus bagaimana, mungkin ini adalah mimpinya tapi ini juga pilihan yang cukup berat untuknya.

Fajri berjalan menuju ke rooftop, tempat paling nyaman untuk menyandarkan rasa lelahnya bila di sekolah.

"Ngapain lo disini?" sapa seseorang yang tiba-tiba duduk disampingnya.

"Lo tau gue disini?" tanya balik Fajri.

"Gue tadi liat lo keluar dari ruang guru, muka lo kusut banget jadi gue ikutin!" jawab Fiki. Padahal sebenarya dia yang menyuruh Bu Ani untuk membujuk Fajri agar mau kuliah.

"Lagian, mikirin apa lagi sih lo? Kuliah?"

Fajri mengangguk pelan.

"Heleh! Gue, mamah, bahkan semua orang juga nyuruh lo kuliah Ji, sayang banget kalau lo ngga kuliah, Lo itu pinter. Beda cerita kalau gue, ngga kuliah mah ngga apa-apa,"

"Fik stop ngomong begitu ke gue, cape gue denger lo begitu mulu!" bantah Fajri.

"Kita saudara, kalau gue kuliah lo juga kuliah. Kalau lo nggak, yaudah gue ngga!" lanjut Fajri penuh penekanan.

Fiki tertawa pelan, "Mana ada kek gitu."

Fiki menarik napasnya dan menghembuskannya pelan, menatap hamparan langit yang luas di depan matanya, "Ngga semuanya bisa dipaksa Ji. Jalan setiap orang beda-beda, termasuk jalan gue dan jalan lo!" kali ini intonasi bicaranya melembut.

"Kalau dipaksa buang-buang duit, orang gue aja dari dulu ga ada niatan mau lanjut. Cape mikir terus," celetuk Fiki dengan nada tengilnya. Ya, ia berbohong.

"Tapi waktu dulu lo bilang pingin kuliah," bantah Fajri.

Nyatanya Fiki terlupa jika sahabat sekaligus saudaranya itu adalah pengingat yang baik.

MENEMBUS LABIRIN KACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang