Bagian 25

123 23 70
                                    

Selesai membantu Mama membereskan piring untuk makan malam, aku menaiki anak tangga perlahan-lahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Selesai membantu Mama membereskan piring untuk makan malam, aku menaiki anak tangga perlahan-lahan. Membawa sepiring potongan berbagai macam buah. Baiklah, aku harus mengambil langkah berani. Lagi pula, masih ada sisa lima menit sebelum belajar dengan Kak Delima.

Pintu kamar terbuka ketika aku mendorongnya  perlahan. Namun, tampak Windy enggak bergerak sedikitpun di kursi belajarnya. Kali ini ia sedang fokus menonton tayangan olimpiade renang di layar ponsel.

Atensi gadis yang masih duduk di kelas delapan SMP ini, pun tersita ketika aku meletakkan piring berisi potongan buah. Windy mendongak, menampilkan kerutan heran di keningnya. Lantas melepas earphone sebelah kanan yang sejak tadi menyumpal telinga.

"Makan dulu, dari Mama."

"Trims."

Oke, aku harus menahan kesabaran untuk menghadapi adikku ini. Demi hubungan yang ingin kuperbaiki. Jangan sampai emosiku terpancing dan membuat hubungan persaudaraan kami berantakan.

Windy mengerling singkat ketika mendapatiku duduk di bibir kasurnya. Heran karena enggak biasanya aku berani duduk di sana atau aku akan dianggap sebagai pengganggu aktivitasnya.

"Win, kita bisa ngomong sebentar, nggak?"

Tampak sekali gadis berambut pendek mencapai leher itu hanya melirik singkat. Satu detik, dua detik ... lalu entah detik ke berapa, barulah Windy mengalah, melepas kedua penyumbat telinganya.

Aku langsung memberikan senyum paling ramah untuknya. Meski wajah Windy sebenarnya sangat enggak bersahabat. Paling enggak, aku sedang berusaha bersikap hangat padanya.

"Cepetan, gue mau belajar," ungkapnya ketus.

"Gue mau minta maaf." Posisiku kini sudah duduk bersila di atas kasur Windy. Tumben dia enggak marah. Biasanya aku akan dianggap akan memberantakkan kasurnya. "Hari itu, gue mengaku salah. Gue udah janji mau datang ke acara olimpiade lo, tapi ...."

"Gue nggak mau bahas."

"Windy, lo marah karena itu, kan? Bukan berarti gue nggak peduli sama lo. Tapi, hari itu komunitas gue ...."

Lagi-lagi suaraku kalah oleh kursi yang berdecit  kasar setelah si empu mendorongnya ke belakang. Windy berdiri, bergerak hendak meninggalkanku.

"Apa gue nggak akan dapat kesempatan?" tanyaku menghentikan langkahnya.

Sayang sekali, Windy enggak menggubris. Tampaknya ia memang sangat kecewa atas sikapku hari itu. Aku menghela napas sesaat, meraih sepiring potongan buah di atas meja belajarnya.

Kuraih tangan Windy, meletakkan piring itu di sana. "Ya udah, kalau lo nggak mau bahas, nggak apa-apa. Makan, ya. Kasihan Mama udah capek kupasin buat lo." Kali ini pun aku enggak mau terlihat kalah hanya karena ia bersikap abai. Jadi, aku mengulas senyum samar sesaat. "Lo lanjutin aja belajarnya. Biar gue yang keluar. Semangat!"

Lily dan Klub Sastra√Where stories live. Discover now