Prolog

591 51 21
                                    

Hadir terang setelah gelap yang panjang. Tapi tanpa perjuangan, apa itu benar akan terjadi?

Akan ada hujan dibalik adanya pelangi. Akan ada tangis disela bahagia yang dialami. Akan ada kekurangan dibelakang kelebihan yang diberi.

Karena Tuhan memang yang paling adil dalam menata hidup ini. Hingga memberikan duka dan bahagia untuk mendapatkan gilirannya sendiri. Yang pasti akan dirasakan manusia, dengan datangnya rasa itu silih berganti.

"Agam! Ayo buruan Dek!" Teriak lelaki berusia kepala empat itu, dari halaman depan. Sebagian sebelah kakinya sudah masuk kedalam mobil.

"Iya Yah!!!" Jawab anaknya yang berlari dari dalam, sampai datang dengan nafasnya yang ngos-ngosan.

Yang lebih tua hanya menggeleng ketika anaknya itu berjalan terburu-buru, karena ulahnya sendiri yang tidak serius ketika bersiap. Padahal anak itu yang ngotot mau ikut menyaksikan pertandingan Kakaknya.

"Dari tadi disuruh siap-siap malah main game terus!" Protes lelaki tua itu.

" Yah! Agam pikir Ayah juga masih mau beresin kerjaan diruang kerja Ayah!"

Elak remaja itu, mengomel membela diri karena tidak terima disalahkan.

Agam Dirgantara, bocah pendiam itu nyatanya tidak akan benar-benar diam saja ketika dia dipojokkan. Meskipun sebenarnya bukan biasanya anak itu seperti ini. Hanya beberapa waktu terakhir. Entah tuntutan usia atau memang sudah waktunya, anak itu mulai berubah sedikit demi sedikit. Yang sesungguhnya sedikit tidak bisa ayahnya terima begitu saja.

"Ayo berangkat!" Titah Ayahnya.

Akhirnya mobil yang ditumpangi oleh Anak dan Ayah itu berjalan keluar, meninggalkan pekarangan rumah yang hanya dijaga oleh seorang satpam dipos depan halaman.

Alan Dirgantara, mantan atlet nasional Basket yang pernah membawa pulang kemenangan bersama tim-nya, saat mewakili Indonesia ke pertandingan tingkat Asia.

Menjadi salah satu bintang kemenangan digrup basket yang kehadirannya selalu membuat segan lawan mainnya. Alan memang memiliki wibawa yang kuat dalam dirinya.

Selain itu, sikap Alan yang tegas dan berani membuat orang lain mengakui betapa berkharisma sosok Alan. Begitupula pandangan anak-anak Alan pada Ayahnya ini.

Tapi sayang, mimpi Alan untuk terus meneguhkan nama dalam jajaran pemain basket yang berjasa bagi bangsa, harus gugur ketika Sang Istri meninggal karena kanker dan meninggalkan dua buah hati ditangannya.

Alan memilih untuk mengurus anak-anaknya dan undur diri dari tim kesayangannya diusia yang masih cukup muda. Karena dia tahu jika tetap ikut dalam tim, maka anak-anaknya akan merasa sendiri dan besar tanpa perhatian yang penuh. Sedangkan menjadi seorang single parent itu dibutuhkan perhatian ekstra yang harus diserahkan pada anak-anaknya.

Tapi bersyukurlah Alan ketika anak sulungnya menuruni skillnya, dan Alan bisa mewujudkan impian melalui anak pertamanya. Sebenarnya, dia juga ingin agar Agam terjun ke dunia yang sama dengan Abangnya. Tapi, dia ditampar kenyataan bahwa itu tidak bisa dia lakukan. Demi apapun kalaupun Agam berusaha menjadi seperti itu, justru Alan yang akan menghentikan anak itu. Alan lebih baik Agam yang sekarang saja. Itu lebih dari cukup dari yang Alan harapkan dari putra bungsunya.

Sepanjang perjalanan, tidak ada pembicaraan yang mengikis hening diantara mereka. Agam yang sibuk memandang jalanan disampingnya, sedang Alan memandang lurus kejalan didepannya.

Sadar dari tadi tidak menciptakan cara pengubah suasana. Alan melirik sebentar kearah putra bungsunya.

Bengong rupanya.

AltschmerzWhere stories live. Discover now