5. Jika Hatinya Bisa Berbicara

168 31 0
                                    

Peran matahari berakhir seiring dengan berhentinya hujan. Sekarang bulan membawa angin malam selepas hujan yang begitu dingin. Semuanya sibuk menghangatkan diri memakai segala macam cara.

Kebanyakan orang menghindari penggunaan air sejuk, namun berbeda dari satu orang yang bahkan baru menyelesaikan mandinya. Air yang mendingin akibat cuaca tak menghalanginya.

Kini, dua tangan melingkupi sebuah kepala dengan handuk. Setiap tetes air yang jatuh segera diseka oleh handuk. Setelah urusan rambut selesai, tangan putih itu dengan leluasanya menekan handuk ke wajah manis itu.

Aktivitas yang tengah dilakukan orang itu dipantau oleh sepasang mata. Sepasang mata itu melirik, apakah sudah selesai atau belum. Sekali lagi diliriknya jam tangan yang jarum pendeknya menunjukkan ke angka 7.

"Kwan, kamu yakin Pak Jihoon sama Bu Jina pulangnya jam 7?" tanya Seungcheol, orang yang tengah bersandar di pintu kamar Jisoo. Ditatapnya Seungkwan yang sedang mengeringkan tubuh Jisoo, berusaha mendapatkan jawaban.

"Yakin, Kak. Biasanya mereka pulang jam segini, tapi aku nggak tau ada hambatan atau acara tambahan apa yang buat mereka jam segini belum di rumah," jawab Seungkwan. Tak dibalasnya tatapan Seungcheol, Seungkwan lebih sibuk mengeringkan rambut Jisoo.

Benar, mereka sebenarnya mengkhawatirkan kehadiran Jihoon serta Jina. Jika mereka melihat Jisoo yang masih saja tidak bisa lepas dari Seokmin, bisa-bisa tamat riwayat barang-barang Jisoo.

Maka dari itu, pandangan Seungcheol tak lepas dari Jisoo dan jam tangan mahalnya. Seungcheol takut jika Jihoon dan Jina tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah dan melihat keadaan Jisoo yang basah kuyup akibat hujan.

Kalau nanti mereka bertanya apa yang menyebabkan Jisoo basah kuyup, apa yang akan dijawab oleh Seungcheol? Apakah karena Jisoo melihat bayangan Seokmin diluar rumah? Jika Seungcheol menjawab hal itu, bisa-bisa di pipi Jisoo kembali terdapat cetakan tangan.

Mereka berdua setuju untuk bekerja sama. Seungkwan membantu Jisoo untuk mengeringkan rambut serta tubuhnya, sedangkan Seungcheol bertugas sebagai penjaga sembari mengecek jam.

"Udah selesai." Seungkwan berkata demikian selagi membenarkan postur tubuhnya yang sedari tadi sedikit bungkuk. Jisoo sudah siap untuk menyelami alam bawah sadarnya memakai piyama tidurnya.

Namun, sedari tadi Jisoo tak berkata satu patah katapun. Dia hanya terdiam, menerima semua perlakuan Seungkwan kepadanya. Jisoo hanya berbicara pada Seungcheol ketika di bawah tadi. Untuk sekarang, mulutnya terkunci seutuhnya.

Sebelum berjalan melalui Jisoo, Seungkwan sempatkan untuk menepuk pelan bahu Jisoo. Ada pesan yang terselip ditepukan bahu itu. Pesan itu diharapkan bisa menguatkan Jisoo yang masih dalam suasana berduka.

"Aku ke bawah dulu, Kak, buat beresin dapur," izin Seungkwan yang dihadiahi anggukan kepala oleh Seungcheol. Seungcheol berdiri tegak, mempersilakan Seungkwan melewati dirinya.

Selepas dari kepergian Seungkwan, Seungcheol menatap ke arah Jisoo yang bersiap-siap untuk tidur. Jisoo sudah menenggelamkan dirinya di antara selimut tebalnya yang membuat Seungcheol tersenyum kecil.

Tepat sebelum Seungcheol menekan saklar, Jisoo berkata, "Kak, aku mau nanya. Boleh nggak?" Seungcheol tak bisa menolak saat mendengar suara parau yang keluar dari mulut Jisoo. Dilepaskannya jarinya dari saklar, kakinya pun melangkah untuk mendekat ke ranjang Jisoo.

Seungcheol mendudukkan dirinya di kursi belajar milik Jisoo yang sudah dia hadapkan untuk menghadap ke Jisoo. Dia sengaja melakukan hal itu agar bisa mendengar suara Jisoo dengan jelas.

"Kalau aku nanya yang aneh-aneh, Kakak bakal jawab nggak?" tanya Jisoo memastikan. Tak perlu pikir panjang, Seungcheol mengangguk. Jisoo sempat perhatikan wajah Seungcheol sebentar sebelum bertanya, "Kakak beneran suka sama aku atau cuma peduli sama aku?"

Terkejut, Seungcheol terkesiap. Dia sendiri tak menyangka bahwa Jisoo akan menanyakan hal itu. Mereka bersitatap, terjebak di dalam pesona mata masing-masing. Untuk sejenak, Seungcheol memikirkan jawabannya selagi menyelami iris tanpa binar itu.

"Saya... Benaran suka sama kamu, Soo," jawab Seungcheol pelan, harap-harap Jisoo bisa mendengar. Kepala Seungcheol tertunduk, tak lagi sanggup beradu mata dengan Jisoo.

Ada jarak keheningan di antara mereka sebelum Jisoo kembali bertanya, "Kenapa? Kenapa suka sama aku? Bukannya Kakak cuma sakit hati? Kenapa Kakak masih peduli sama aku?"

Mendengar rentetan pertanyaan dari Jisoo, Seungcheol mendengus miris. Seungcheol jadi percaya slogan cinta yang berkata 'jika sudah cinta, semua pun akan dilakukan'.

Seungcheol sendiri tahu alasan kenapa dirinya masih berharap pada Jisoo. Seungcheol yakin bahwa suatu saat Jisoo bisa membalas perasaannya. Hanya saja, ada satu pertanyaan.

Kapan?

Kapan Jisoo bisa menyadari cintanya yang kian lama kian membesar? Kapan Jisoo bisa menyadari bahwa hatinya masih berdarah karena masih menggantungkan harapannya? Kapan Jisoo bisa membalas rasa cintanya?

"Karena aku berharap kamu balas perasaanku, Soo," jawab Seungcheol. Kepalanya masih setia tertunduk, menandakan bahwa dirinya tak bisa menatap Jisoo secara langsung. Memang bukan salah Jisoo, tapi rasanya ada sebagian hatinya yang teriris saat melihat wajah Jisoo.

Wajah seseorang yang tidak mencintainya kembali.

"Kak..." Lirihan dari Jisoo tak berhasil menarik perhatian Seungcheol sepenuhnya. "Kakak yakin dan masih suka sama aku? Setelah ngeliat aku di fase seperti ini?" Oh, sial. Pertanyaan Jisoo kembali melukai hati Seungcheol.

Seungcheol mengangguk dalam tunduknya, "Aku yakin, Soo. Aku bakal nunggu kamu pulih." Semua kalimat itu terluncur begitu saja dari mulut Seungcheol. Hatinya terasa pedih, namun kalimat itu masih saja terlontar. Otak dan hatinya tidak sinkron.

"Kakak yakin mau nunggu aku?" Seungcheol kembali mengangguk. "Kak, ada pilihan lain. Tinggalin aku. Daripada nunggu aku, mending cari seseorang yang pasti," tambah Jisoo. Setengah dari pertahanan Seungcheol sudah runtuh sejak pertanyaan pertama, tapi setengahnya masih berdiri kokoh.

Seungcheol mendongak, melihat ke arah Jisoo. Seungcheol sedikit tak menyangka saat melihat ada air mata Jisoo yang menetes, mengalir di pipinya. "Aku... Nggak yakin bisa balas perasaan Kakak..." sambung Jisoo, kali ini dengan suara bergetar.

Tak mau sisa dari pertahanannya rubuh sepenuhnya, Seungcheol berjalan mendekati Jisoo. Dilebarkannya senyum kecil walau terasa sangat sulit. "Pilihanku jatuh di kamu, Soo. Aku yang nanggung apapun itu konsekuensinya," balas Seungcheol.

Tangan Seungcheol mengusap rambut Jisoo, "Aku yang tunggu kamu sampai pulih." Begitu Seungcheol mengucapkan kata terakhir, Seungcheol segera berdiri. Sebelum meninggalkan kamar Jisoo, dipadamkannya lampu kamar Jisoo.

Tepat setelah pintu kamar tertutup, Seungcheol tersenyum miris. Kini, dia hanya bisa berharap untuk bisa tetap kuat menunggu hari itu tiba. Hari dimana Jisoo bisa membalas perasaannya.

[✓] Lost Memories: Before That Day | CheolSooWhere stories live. Discover now