12. Derai

50 21 1
                                    

Sapuan Co2 yang menerpa wajahku membuat otakku semakin konslet, aku menggeser posisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sapuan Co2 yang menerpa wajahku membuat otakku semakin konslet, aku menggeser posisi. Rasanya sedikit aneh dan tak nyaman duduk sedekat ini dengannya. Aku pikir ayah tidak benar-benar akan menikahkan kami berdua, nyatanya kami dinikahkan secara paksa.

Pak Pram diminta bertanggung jawab atas kejadian pagi tadi, sekeras apa pun dia menolaknya, Ayah bersikeras kami harus menikah. Kami berdua diseret ke KUA olehnya.

"Dia bilang tinggal di rumah kita untuk mengawasi kamu, Hana. Cuma ngawasi, karena takut kamu kenapa-kenapa. Paman gak nyangka, dia malah mengambil kesempatan untuk ngapa-ngapain kamu!" Suara Paman yang terdengar kecewa dengan kejadian yang menimpa kami.

"Padahal cuma tidur, gak ngapa-ngapain, loh, Paman." Aku mencoba melobi keputusan Ayah melaluinya. Namun, percuma saja, Ayah tetap pada pendiriannya.

Pak Pram terlihat pasrah saja dengan keputusan itu, dia hanya diam sambil memegangi kepalanya, duduk di pojok halaman KUA. Aku duduk di sampingnya, membukakan botol minum untuknya. Dia menatapku dengan wajah pucatnya.

"Maaf ya, Hana, kita malah jalan-jalan ke sini," katanya dengan wajah memelas. Dia meraih botol minum dan menenggaknya sedikit.

"Bapak tadi udah sarapan?" tanyaku padanya. Dia menggeleng lemah, tangannya masih sibuk memicit kening.

"Vertigo?" tanyaku pelan.

"Ah, mungkin, pusing banget saya."

Aku berdiri tepat di depannya, "angkat kepalanya sini, coba lihat ke saya."

Dia menatapku, sorot matanya memang terlihat sedikit berbeda. Aku memegangi kepalanya dan memijit lembut di kening kiri dan kanan secara bersamaan. Untuk beberapa detik, mata kami berpapasan. Dia diam saja menatap ke arahku.

"Kamu ngapain?" Nada bicaranya terdengar sedikit sinis.

"Mijit, kan katanya pening!"

"Singkirkan tanganmu dari kepalaku!"

Aku mencebik, "idih! Sewot!!"

Seharian ini, kami hanya di rumah Paman. Bibi masih sakit, semua orang sedang menjenguk bibi, akhirnya hanya tersisa kami berdua. Dia sedang tidur di kamarnya karena sakit kepala.

"Dia belum makan," gumamku pelan. Aku beranjak dari dudukku dan mencari sesuatu yang bisa kami makan. Aku membuka lemari pendingin, kosong. Kucari di setiap rak apakah ada mi instan yang tersisa. Namun, tak ada sesuatu yang bisa kami makan sekarang.

"Pak, Bapak nggak laper?" tanyaku dari ambang pintu kamarnya yang tidak terkunci sempurna, ada celah yang cukup buatku mengintip ke dalam kamar. Aku memanjangkan leher dan mencarinya di sana. Dia tengah tidur membelakangi pintu.

"Pak?" Dia tak kunjung menjawab.

Aku perlahan mendekat, tubuhnya terasa hangat. Aku meletakkan tangan di dahi, benar saja, dia demam.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang