13. Debarkasi

52 27 3
                                    

Angin berembus kencang meniupkan daun-daun yang berguguran

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Angin berembus kencang meniupkan daun-daun yang berguguran. Anak-anak kecil bertelanjang kaki berlari di atas pematang sawah. Aku, Gladis, Luka dan Thalita sedang menikmati kelapa segar yang diambil dari kebun milik Gladis.

Kami menggelar tikar anyaman, membawa gorengan dan juga camilan kegemaran Thalita, di atas hamparan tanah dekat pematang sawah yang ada di depan rumah Gladis. Ya, di depan rumah Gladis ada hamparan sawah. Suara murrotal dari speaker masjid yang ada di seberang menjadi musik latar paling adem. Hampir Magrib, langit perlahan berwarna kemerahan.

Aku mematikan paket data, ponsel pintar itu kubiarkan teronggok di dalam tasku.

"Eh udah azan lah, we, solat dulu kita yuk!" ajak Thalita. Kami berdiri mengikutinya, kecuali Luka. Dia masih ingin menikmati semilir angin sore.

"Woy anak senja! Sini masuk!" teriak Gladis yang berkacak pinggang di depan rumahnya.

"Btw, baliknya gimana ya? Masih ada angkot kan?" tanyaku.

"Sekali-kali kalian pulang malam kan nggak apa-apa, jangan aku terus yang kenak repet mamakku karena pulang malam kek anak jalanan. Jauh-jauh kusekolahkan ka-u! Malah melalak aja kerjamu!! Hah! Mau jadi anak jalanan apa kaaaaau!!" kata Gladis menirukan omelan ibunya.

"Iya, deh, iya. Makasih ya, Gladis," sahutku sambil menepuk pundaknya.

"Iyaaa lah. Makan dulu ya?" ajak Gladis lagi.

"Hm, abis salat aku langsung balik aja deh," sahutku dari kamar mandi.

"Gimana kalau kamu aja yang anter, Luka? Satu arah 'kan?" usul Thalita.

"Satu arah dari MARs?" jawabnya ketus. "Bukannya, biasanya Pak Pram yang jemput kamu, Hana?" ujar Lukas yang kini sudah berdiri di depanku.

Sejujurnya, aku sedang tak ingin menemuinya sekarang. Laki-laki dewasa itu tak berhenti mengirim aku berbagai pesan yang berujung kata yang tak seharusnya diucapkan seorang guru pada muridnya. Aku takut membuka pesan darinya. Itulah kenapa ponsel kubiarkan mati begitu saja.

"Tolong jangan sebut namanya sekarang, kau tahu dia bisa muncul kapan saja jika kau sebut namanya 'kan?" kataku dengan polosnya.

Ponsel Gladis berdering, sontak mata kami tertuju pada ponsel pintar berwarna merah muda itu.

"Pak Pram, Hana!" pekiknya saat melihat nama pada layar ponselnya.

Aku menegang. Sudah pasti dia akan memarahiku karena tak bilang pergi sejauh ini.

"Gladis, ini Pak Pram, Hana ada di situ kan?" Suara Pak Pram terdengar jelas. Kepanikannya juga terasa sampai hatiku.

"Iya, ada Pak!" jawab Gladis takut-takut.

"Astagfirullah, kasi hapenya biar saya ngomong." Suara Pak Pram yang begitu kuat, menyiratkan amarah yang sudah sampai ubun-ubun.

"I-iyya, Pak."

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin