[Prolog] Hilang

50 6 1
                                    

Arka mengetuk pintu rumahnya. Tok tok tok. Tiga kali ketukan. Tdak ada jawaban. Tok tok tok. Diulanginya lagi dengan penuh harap. Pintunya bergeming.

"Sar? Sara?" Panggilnya keras. Barangkali istrinya tertidur pulas sehingga tidak mendengar ketukan pintunya. Padahal sebuah pesan telah dikirimkannya ke ponsel istrinya, memberitahu bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang dari bandara.

Clang! Sepatunya menendang sesuatu. Sebuah kunci, hampir tersembunyi dengan rapi dibalik keset depan pintu.

Sial. Arka buru-buru membuka pintu. Dilemparkannya tas carriernya secara sembarang lalu langkahnya menyerbu kamar tidurnya. Rapi. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan orang sama sekali. Arka bersin-bersin. Lantai kamarnya bahkan terasa agak berdebu.

Gesit tangannya mengambil ponsel yang dia tinggalkan di ruang tamu. Mencari sejumlah nama yang biasa menjadi 911-nya selain istrinya.

"Halo, Ka?" sebuah suara mengantuk terdengar dari ujung telepon. "Kenapa? Jam 1 malam lho, ini." katanya sambil menggerutu.

"Sara, Dim." jawab Arka pias.

"Kenapa dia? Ga bangun-bangun? Sini tidur kos gue aja," sahut Dimas sambil menguap.

"Dia nggak ada di rumah."

Kantuk menghilang dari mata Dimas. "Gak ada—nggak ada gimana maksud lo?"

"Ya, nggak ada. Orangnya nggak ada." kata Arka dengan lelah. Dia menempuh perjalanan dinas darat-laut-udara selama hampir satu hari dan menemukan istrinya tidak ada di rumah. Yang dia ingin sebetulnya hanya istirahat.

"Innalillahi.." jerit Dimas histeris.

Arka meninggikan suaranya. "Woi! Istri gue masih hidup!" katanya ketus.

"Hah—terus— waduh! Panggil polisi! Sara diculik!" Dimas heboh berteriak-teriak di ujung telepon, membuat Arka harus menjauhkan telepon dari telinganya sebentar.

"Nggak gitu." omel Arka. Selalu, Dimas jadi sahabatnya yang paling heboh. Kenapa dia bahkan kepikiran untuk menelepon Dimas? Kenapa bukan Sandi, kenapa bukan Danu.

"Dia kayaknya pergi ke rumah orangtuanya. Kita sempat bertengkar minggu lalu, tapi gue nggak mengira kalau itu bakal membuat dia semarah ini." Arka menunduk frustasi.

Kenapa dia bahkan kepikiran untuk mengucapkan hal itu?

"Okay, bro, calm," Dimas merendahkan suaranya sedikit-karena tahu Arka akan semakin kesal jika dia mempertahankan sikap hebohnya tadi. Masalah rumah tangga bukan hal baru di kalangan usia 25-an, bukan?

"Pertama-tama lo duduk dulu—udah?"

Arka menurut dan duduk di hal terdekat yang bisa ia duduki—sebuah meja konsol kopi.

"Yang pertama, lo nggak akan menyelesaikan masalah dengan bingung dan panik kayak gitu. Lo harus mikir dengan tenang. Ini jam 1 malam, dia pasti sudah tidur. Jadi lo nelpon dia besok pagi aja."

"Tapi—" Arka menggigit bibir. Dia teringat masalahnya berarti sudah mengendap selama tiga hari, karena terakhir kalinya mengobrol dengan Sara adalah hari Kamis.

Sekarang hari Minggu. Arka mengira Sara hanya akan tinggal untuk acara peringatan kematian Mama Sara dan akan kembali pada akhir pekan. Ternyata perkiraannya salah.

"Buru-buru nggak akan menyelesaikan apa-apa." kata Dimas bijak. "Sekarang lo istirahat dulu— walaupun gue nggak yakin lo bakal bisa tidur atau nggak— tapi setidaknya badan lo bisa rebahan dulu.

Fisik lo capek dan kita udah jompo. Gue tutup telponnya dan lo istirahat, oke?"

Kadang-kadang Dimas bisa seperti ibunya. Itu keahlian Dimas, mengomel panjang. "Oke." jawab Arka pelan.

Terdengar suara telpon ditutup. Arka menghela nafas, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Pandangannya tertumbuk pada sebuah foto yang digantung tepat di depan ranjangnya—foto pernikahannya.

Arka dan Sara, 23 dan 22 tahun, masing-masing menampilkan senyum terbaik.

Arka tersenyum, mengingat satu tahun yang berselang. Ketika kehidupan pernikahan yang mereka kira akan mudah, ternyata bergerak ke arah sebaliknya.

**Dua tahun yang lalu**


(to be continued)

Segalanya adalah Rumah, kecuali KamuOnde histórias criam vida. Descubra agora