Bandara

10 3 3
                                    

Sayang, bisa bicara sebentar?

Aku baru landing.

Balas ya kalau sudah bisa.

Terkirim 08:20

Arka menatap teleponnya dengan harap-harap cemas. Sejenak kemudian, Sara membalas.

Bisa

Diterima 08:25

Arka dengan segera menelepon istrinya. "Halo, sayang? Sudah bangun?"

"Nggak usah basa-basi." sahut suara di seberang dengan ketus. "Jadi mau nemenin aku ke dokter, nggak?"

"Soal itu kan bisa dibicarakan baik-baik," bujuk Arka. "Aku harus bicara sama Ibu dulu, sama Alika dulu.."

Sara tidak bisa menahan kesabarannya. "Masalahnya bukan soal eventnya. Aku nggak peduli kamu mau nemenin Ibu kamu arisan, atau ke hutan, terserah."

Arka terkejut dengan perubahan suara yang tajam dari istrinya. "Kok kamu ngomongnya gitu?" balasnya dengan nada tajam.

"Yang aku permasalahkan, kenapa selama ini aku merasa kalau rumah tangga kita ini ada empat orang, Ka?" keluh Sara dengan setengah menangis. "Kenapa aku merasa kalau rumah tangga kita isinya aku, kamu, Ibu, dan Alika?"

"Maksud kamu apa?" kata Arka sedikit keras, berusaha menyaingi riuhnya bandara.

"Dalam tiap kegiatan, kamu selalu menyertakan Ibu. Ibu juga tidak mau melepas kamu. Alika juga selalu ikut. Bahkan, ikutnya mereka menentukan mana saja yang kita harus lakukan dan kunjungi." Sara merepet panjang.

"Sar, apa esensi pernikahan kalau bukan menyatukan dua keluarga?" potong Arka. Dia tidak terima Ibu dan adiknya dianggap sebagai hal yang tidak seharusnya ada dalam keluarga.

"Menyatukan dua keluarga secara harafiah, Arka. Bukan mengintervensi!" pekik Sara.

"Coba ingat setahun belakangan, memangnya pernah, kita berdua pergi tanpa mengajak Ibu? Memangnya pernah, kamu tanya ke aku, aku mau kemana? Aku mau melakukan apa? Semua Ibu. Semua Alika. Aku disini siapa? Manekin?"

Arka mencelos. Semua itu tentu saja benar. Tapi dia memang betul-betul tidak bisa, atau belum bisa, melepaskan Ibu dan adiknya dari pengawasannya.

"Kamu mau ngomong atau cuma diam saja?" tuntut Sara dari seberang telepon.

Arka menimbang-nimbang. Suasana hatinya sudah terlanjur panas. Lebih baik diam, pikirnya.

"Jadi besok Sabtu, bisa atau nggak? Kalau nggak bisa, biar aku berangkat sendiri."

"Biasanya juga berangkat sendiri." cetus Arka, kaget dengan kalimat yang dia utarakan dengan nada pedas itu.

"Jadi kamu sadar kalau selama ini aku mengurus kandunganku sendiri." Sara menghela nafas. "Baiklah. Mulai sekarang biar sendiri-sendiri saja ya?"

Arka menahan langkahnya sejenak. "Sendiri-sendiri bagaimana? Bisa apa kamu, kalau sendiri? Nggak boleh!—"

"—Bisa apa?" Sara meninggikan suaranya. "Bisa apa, kamu tanya? Aku punya penghasilan sendiri! Sebelum bersama kamu, aku mengurus semua hal sendiri!"

Arka menyadari kalau dia telah salah bicara. Sara paling tidak suka dibilang lemah. Hidupnya yang ditinggal Mamanya sejak kecil memaksanya untuk melakukan segala sesuatunya sendiri.

"Aku bukan Ibu kamu, atau Alika, yang keduanya bergantung sama kamu!" pekik Sara. Dia tidak menyadari kalau berbicara kepada suaminya bisa sefrustasi ini.

Arka mengumpulkan kata-kata untuk menjawab. Terlambat. Sambungan teleponnya telah terputus, digantikan oleh telepon lain dari bosnya. Meeting akan segera berlangsung, sebaiknya dia bergegas.

Segalanya adalah Rumah, kecuali KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang