Pergi

8 3 1
                                    

"Nggak ngerti lagi gue. Semalaman dihubungin nggak bisa. Pagi ini ponselnya juga masih mati." Arka mengeluh, lagi. Setelah semalaman mengeluh, paginya diawali dengan mengeluh juga.

Di sampingnya, Dimas sembari terkantuk memakan bubur ayam yang dia beli dalam perjalanan menuju ke rumah Arka. "Gue malah nggak ngerti sama lo. Harusnya kalau dia sampai kabur gini, berarti serius banget, dong, masalahnya." kata Dimas sambil menyuap kerupuk.

"Sebenarnya, kenapa sih, Ka? Kemarin kalian itu bertengkar kenapa?"

SATU MINGGU LALU

"Besok aku ke luar kota lagi, sayang." Arka berkata sambil lalu, tangannya memasukkan laptop ke dalam tas.

"Selesainya kapan?" tanya Sara sembari sibuk mempersiapkan bekal. Isi kotak makan suaminya hari ini beraneka ragam dan juga berwarna-warni. Sara mengangguk puas, tidak sia-sia hasil kerjanya bangun pagi.

"Seperti biasanya aja. Hari Jum'at." Arka menyandang tas yang sudah penuh. Tak lupa bekal dari istrinya dia bawa dengan tangan satunya.

"Nggak lupa, kan? Besok Sabtu ada jadwal kunjungan ke obgyn, lho." Sara mengingatkan dengan berbinar. Buah hati yang mereka usahakan sejak dua tahun yang lalu, akhirnya diamanahkan juga oleh Tuhan untuk mereka jaga.

Sara menepuk-nepuk perutnya dengan senang, "Ya, Dek? Kita mau periksa, ya?"

Arka mengerjap sejenak. "Ah, soal itu.."

"Ibumu lagi? Alika kenapa?" Sara bertanya dengan cemberut.

"Alika ulang tahun. Masa' kamu lupa? Mereka minta aku pulang dulu, jadi mungkin Sabtunya aku akan pulang, Minggunya baru kembali kesini."

Terasa ada yang menyengat di hati Sara. Bukan sekali dua kali janjinya dibatalkan karena mertua dan adik iparnya, bukan sekali dua dia memaafkan. Tapi kali ini menyangkut anaknya, anak mereka berdua.

"Arka!" sentak Sara dengan kecewa. "Kamu tahu kalau kunjungan ke obgyn ini sudah kita rencanakan dari dua bulan yang lalu kan?"
"Di-reschedule saja, bisa?" bujuk Arka dengan sedikit tatapan bersalah. Dia tahu pasti kondisi kandungan istrinya yang lemah mengharuskan mereka mencari dokter spesialis yang khusus, sehingga antrian yang lama dan panjang menjadi tidak terbantahkan. "Atau kamu mau ikut ke ulang tahun Alika? Terakhir kamu ke rumah Ibu kan, lebaran yang lalu."

"Arka.. ini anak kita. Anak kita." kata Sara dengan penuh penekanan pada kata yang terakhir.

"Kamu tahu kalau Ibu nggak bisa kemana-mana tanpa aku." sahut Arka dengan lemah.

Sara mengedikkan matanya. "Lalu Alika? Apa dia akan kamu biarkan begitu, main kesana kemari, sementara Ibu tidak bisa berjalan tanpa dibantu?"

"Alika kan masih muda," sergah Arka mengelak. "Dia butuh pergaulan."

"Dia butuh belajar tanggung jawab, kalau kamu tanya aku!" kecam Sara dengan suara serak.

Arka melirik jam. Dia harus segera mengejar waktu agar bisa naik KRL tepat waktu. "Aku berangkat." kata Arka pelan, menutup pembicaraan.

Sejenak lenggang, tersisa debum pintu yang barusan ditutup Arka. Dan sayup suara tangis Sara.

Malam itu, Arka makan malam sendirian. Istrinya menutup wajah dengan selimut di sisi lain tempat tidur. Di sofa depan sudah disiapkan barang-barang yang diperlukan Arka selama perjalanan dinas tiga hari kedepan.

Arka ingin membangunkan istrinya, tapi urung. Karena besok pagi buta dia harus mengejar penerbangan paling pagi, barangkali besok mereka bisa bercakap via pesan untuk menyelesaikan masalah.

Rumah tidak pernah terasa sesepi ini.

Segalanya adalah Rumah, kecuali KamuWhere stories live. Discover now