19. Dek Hana

38 19 7
                                    

"Dek Hana?" Hampir saja aku meloncat karena  mendengar suara Pak Pram dari jendela kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dek Hana?" Hampir saja aku meloncat karena  mendengar suara Pak Pram dari jendela kelas. Dia berdiri di sana dan menunjukkan sebuah plastik keresek berwarna putih. Entah sejak kapan, dia jadi sering membelikan aku makanan ringan. Kadang dia meletakkan permen di dalam buku tugasku. Atau cokelat. Walau sudah dilarang, karena aku tahu uang sakunya tak banyak, tetap saja dia membelikan sesuatu buatku.

Aku berlari ke arahnya, "ini di sekolah! Jangan gitulaaaaaaaah," kataku memelas. Suaraku kecil hampir tak bisa dikeluarkan, takut kalau-kalau ada yang mendengar, bisa viral nanti hubungan gelap kami ini. Ini semua gara-gara Ayah! Kalau tidak diikat begini, aku pasti tidak selancang ini dengan Pak guruku.

Dia tertawa kecil, lesung pipitnya tersemat indah di pipi putihnya.  Menyebalkan! Laki-laki dewasa yang menyebalkan!!

"Pulang, yuk?"

Sekolah sudah sepi. Hampir jam lima sore, kelas tambahan untuk pelajaran Matematika baru saja selesai. Pak Danis sengaja menambah jam pelajaran sampai lewat waktu salat Asar. Alasannya, karena minggu lalu kelas dibatalkan sepihak. Dia pergi ke kota Medan untuk suatu keperluan. Mungkin, pelajaran Matematika hanya akan di-cancel saat kiamat tiba. Mau hujan badai, ataupun gempa bumi, Pak Danis akan datang untuk mengajar. Kalau dia tak datang, kami harus merapel pelajaran kemarin dan sekarang.

Matahari sudah mulai redup, sebentar lagi langit akan berwarna keemasan yang sangat cantik. Pasti indah, jika di hari yang cerah seperti ini, bisa menggelar tikar di pantai. Bermain pasir, lalu berlari karena ombak yang datang. Atau main kejar-kejaran dengan Pak Pram.

"Pulang gak? Atau mau main dulu?" ajaknya lagi seakan bisa membaca isi kepalaku.

"Pulang aja," sahutku kemudian.

Aku mengikuti langkah kakinya yang panjang. Dia menuju ruang guru, mungkin ingin mengambil sesuatu di sana. Mataku memandangi ruang UKS. Kejadian tempo hari cukup membuatku bingung. Bagaimana bisa pintu dunia itu bisa bergeser sesuka hati, tanpa bisa dikendalikan? Lantas, apakah ada yang mengendalikannya. Namun, siapa?

"Ngelamun lagi, udah ayuk pulang."

Pak Pram berdiri di depanku dengan tas dan beberapa buku di tangannya.

"Perpus masih buka gak ya?" gumamnya tak jelas.

"Pak, pegawai perpus butuh istirahat kali, Pak. Butuh ketemu keluarga. Masa suruh nungguin Bapak pake wifi gratisnya mereka?"

"Kamu makin hari makin pinter, Dek. Pengen gigit!" sahutnya dengan nada jenaka. Dia kini berjalan di depanku lagi. Malas sekali menunggui aku berjalan di sampingnya.

Sejak kejadian tempo hari, kami tak lagi pergi dan pulang sendiri-sendiri. Dia terus mengawalku ke mana pun aku pergi. Bahkan, saat jam istirahat, jika itu jam pelajarannya di kelasku atau kelas sebelah. Dia memilih duduk di antara para siswa sambil mengawasiku. Kharismatik sekali memang, bapak guru kebanggaan semua siswa ini.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang