[24] Mencari arti hidup di kehidupan orang lain

829 56 0
                                    

. . .

Nirinda mengintip kamar Khaluna. Saat Ghifari mengatakan anaknya memiliki pasangan perempuan, dia tidak percaya. Namun hari ini dia melihatnya langsung, Nirinda tidak menyangka Raka bisa menggenggam tangan perempuan itu.

Laki - laki itu terlelap dan memegang erat telapak tangan Khaluna yang duduk lesehan. Nirinda menjadi saksi mata betapa besar rasa suka Raka pada perempuan itu. Tapi dia tidak senang. Untuk suatu alasan tertentu dia tidak suka melihat Raka bergantung pada seseorang sampai seperti itu.

Tak sengaja dia membuat suara engsel pintu berdecit, Khaluna bangun dari tidurnya dan menemukan Nirinda segera bersembunyi di balik tembok. Khaluna bergerak seminim mungkin agar Raka tidak bangun. Dia keluar dari kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.

Nirinda, Ghifari dan Alindra langsung mengerumuninya. Ketiga orang itu tampak sangat ingin mengatakan sesuatu tapi entah kenapa mereka malah saling tatap - tatapan. Seolah berkata, siapa yang mengajak Khaluna bicara duluan.

Alindra yang tidak sabaran pun menjadi orang pertama. Ia membawa Khaluna menuju kamarnya.

"Kenapa kak?"

"Hentikan, ini sudah nggak masuk akal." Alindra tidak mengerti jalan pikir adik sepupunya ini, "Kenapa kamu mengurus dia sampai segitunya? Pasti ada alasannya kenapa kamu perhatian sama dia sampai nggak peduli sama hal diluar nalar tadi."

Khaluna menatap hal lain, enggan menanggapi pertanyaan Alindra.

"Jujur aja lihat Raka malam itu bikin kakak inget sama Tomi. Apa mungkin karena dia? Kamu ingin menyelamatkannya?" tebak Alindra curiga.

Khaluna langsung menahan nafasnya, tebakan Alindra sangat tepat.

Alindra perlahan terenyuh, "Kematian Tomi bukan salahmu Khai, kamu nggak perlu kayak gitu sama anak itu hanya karena dia–"

"Maksud kakak apa? Aku cuma lakuin tugasku sebagai perawat."

"Kakak juga sedih atas kepergian kakakmu. Kecelakaan waktu itu.. relakan saja, itu bukan salahmu."

"Salahku kak. Aku yang bikin kakak meninggal malam itu. Hari ulang tahunku, aku merengek minta hadiah. Kak Tomi udah bilang bakal ngasih besok tapi aku.. aku malah bilang dia kakak yang buruk karena tidak menepati janji. Apa yang terjadi setelahnya? Kak Tomi.. meninggal di kecelakaan, karena aku kak. Kenapa semua orang.. aku yang salah, aku pantas dihukum."

"Kamu waktu itu belum ngerti Khai. Itu bukan salah siapa - siapa, sudah takdirnya."

"Takdir.. iya bener, takdirnya meninggal karena kata - kata jahatku!"

Khaluna menepuk dadanya berulang kali, "Aku bahkan nggak tau Kak Tomi lagi banyak masalah. Aku dengan mudahnya sebut dia kakak paling jahat sedunia. Dia kembali ke kantor waktu itu buat ngambil hadiah terus motornya—" Khaluna menghentikan kalimatnya, menghirup nafas dengan susah payah dan mengontrol emosinya.

Setelah sudah terkendali, Khaluna mengatur nada bicaranya.

"Kalau aja aku lebih dewasa waktu itu, kakakku pasti masih hidup. Ibu dan Aris, bibi dan paman yang lain, mereka semua.. ngomong itu bukan salah aku tapi dibelakang manggil aku pembunuh. Hanya bapak, dia diam setiap kali ibu bahas kak Tomi."

"Kakak tau kenapa bapak diam aja?"

"Bapak kamu udah maafin kamu Khaluna, udah saatnya kamu move on."

"Bapak bukan maafin aku kak. Nyebut topik kak Tomi di rumah itu jadi pembicaraan terlarang. Sebaiknya diam, sebaiknya tidak dibahas dan sebaiknya tidak usah di ungkit lagi."

"Bapakku diam karena dia nggak mau maafin aku!"

"Khaluna.." gumam Alindra pelan ketika emosi perempuan itu memuncak.

"Kenapa gak langsung marahin aja aku sepuasnya! Aku— yang bikin Kak Tomi meninggal dunia. Kakak mau ngomong apapun, faktanya tetap tidak berubah."

Alindra menatap lama Khaluna yang perlahan berkaca - kaca.

"Raka.. mirip Tomi kan? Karena itu kamu simpati sama dia, bayang - bayang Tomi ada di Raka, ngaku aja."

"Nggak! Mereka beda! Aku cuma–

"Nggak kak, mereka beda. Plis jangan ngomong itu." ujarnya sembari menatap langit - langit kamar, tidak ingin air matanya tumpah.

"Kalau sudah selesai, aku mau kembali ke kamarku." ujar Khaluna lagi beruntun, meminta Alindra menyingkir dari pintu.

"Aku benar Khai. Anak itu bilang bakal hidup selama kamu hidup, kalau kamu pergi, dia bakal ikut mati juga, bunuh diri aku tebak."

"Kakak berlebihan.." gumam Khaluna lagi.

"Kalau saja ada hal buruk terjadi sama dia. Kamu bakal jatuh di lubang yang sama lagi, penyesalan.

"Kakak nggak mau liat kamu di posisi itu lagi. Kumohon resign aja ya? Kalau bisa jauhin anak itu, dia pecahin kaca rumah cuma karena mimpi kamu mati Khai. Dia udah obsesif. Ghifari yang memberimu pekerjaan ini kan? Aku akan menyuruhnya berhenti manfaatin karyawannya kayak gini. Lagian dia tawarin kamu apa?"

"Kalau aku bisa bantu dia, aku bakal tetep ada disisinya." itu balasan Khaluna.

"Khaluna kamu sadar nggak sih apa yang akan kamu lalui? Kamu mau menghabiskan hidup buat mengurusnya? Kehidupanmu sendiri gimana?"

Khaluna menyisir rambutnya ke belakang dengan jari lalu mengangkat wajahnya.

"Kenapa kakak nggak ngerti? Hidupnya sudah jadi hidupku juga. Jujur aja, aku senang Raka masih membutuhkanku, aku merasa lega. Aku juga sama sepertinya, mencari arti hidupku di kehidupan orang lain, mencari apa aku masih berguna untuk orang lain. Aku hidup karena itu, aku jadi perawat karena itu kak. Itu yang pengen kakak denger?"

"Ya tuhan, berhenti menyalahkan dirimu Khaluna! Ini sudah bertahun - tahun!"

"Kalau bisa aku gak bakal jadi perawat kak!"

"Biarin aku hidup dengan caraku sendiri, aku bakal baik - baik saja. Semuanya bakal baik - baik saja."

"Gimana kalau Raka benar - benar pergi? Anak itu kudengar berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya. Nggak ada yang tahu dia bakal berbuat apa. Gimana kalau seumpama kamu yang pergi dari hidupnya dan ketemu sama cowok lain? Kakak yakin anak itu bakal ikutin kamu dengan bayang - bayang ancaman mengakhiri hidupnya."

"Gak bakal! Aku gak bakal biarin itu terjadi!" bentak Khaluna lagi, dia pun sadar apa yang ia ucapkan dan menutup mulutnya sendiri.

Alindra menghirup nafas dalam - dalam berusaha tenang, "Kamu kedengaran sama persis kayak Raka. Ini nggak normal, kalian ini.." keluh Alindra.

Sebelum pergi Alindra memeluk adik sepupunya itu, "Kakak cuma mau yang terbaik buat kamu, kalau ini pilihanmu berarti kamu udah siap sama konsekuensinya. Kakak nggak bakal setuju sama pilihanmu tapi inget baik - baik kalau kakak bakal selalu ada buat kamu Khaluna. Kalau ada masalah langsung datang ke kakak, ngerti?" rayu Alindra lagi.

"Kakak cuma nggak mau kamu ngelewatin hal yang sama lagi. Kakak sayang sama kamu Khaluna, kakak temannya kakakmu, Tomi pasti sedih kalau kamu masih menyalahkan diri seperti ini." ucap Alindra.

Khaluna membalas pelukan itu, ia mengerti kenapa Alindra berkata seperti ini padanya. Tapi disisi lain, dia tidak bisa acuh pada Raka.

Perlahan bahu Alindra basah, bisa ia dengar Khaluna terisak.

"Maaf.. kakak malah bahas yang aneh - aneh padahal kamu capek."

"Aku bakal baik - baik saja." Ucap Khaluna.

Khaluna mengembangkan senyumnya, "Aku bakal tetap kuat dan ceria, nggak usah khawatir kak. Percaya sama aku." ujarnya lagi.

"Iyah."

"Sudah, kamu istirahat saja di kamar ini, kakak tidur di kamar ibu bapak. Tetap disini aja, mereka kayaknya mau ngobrol banyak. Kakak bakal bilang buat lanjut masalah ini besok aja. Lagipula ini sudah malam." ucap Alindra lagi.

Khaluna mengangguk mengerti dan duduk di kasur warna biru milik Alindra. Menunduk dan menghirup nafas lalu mengeluarkannya beberapa kali. Bayangan bersalah tentang Tomi datang lagi. Khaluna berusaha tenang dan terlelap.

Malam ini akan terasa sangat panjang.



-tbc

Nurse On MissionWhere stories live. Discover now